Lihat ke Halaman Asli

Pengalamanku Ditolak SNMPTN dan SBMPTN, Menyerah atau Tidak?

Diperbarui: 29 Maret 2022   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tahun 2018, kala aku menduduki kelas 12 semester 2, guru BK mulai memasukkan data-data para siswa yang masuk kualifikasi SNMPTN. Ahamdulillah, aku termasuk di antaranya. Saat itu perasaanku lega, rencana masa depanku mulai centang hijau satu langkah. 

Aku pun tidak kalah senang saat tahu bahwa di jurusan yang kupilih, aku menempati posisi pertama dari dua orang yang mendaftar. Aku memilih jurusan sistem informasi karena menurutku jurusan itu salah satu yang ingin aku pelajari. Selain itu, juga tidak banyak anak yang memiliki niat untuk mendaftar. 

Siswa lain lebih banyak memilih jurusan IT dan sistem informasi masih banyak siswa yang tidak tahu menahu. Meskipun hanya dua orang, tetapi tetap saja aku menganggap "masih memiliki saingan". 

Kepala sekolah berkata saat pertemuan di aula bahwa orang yang berada di peringkat atas belum tentu diterima. Bisa saja yang di bawah malah yang diterima. Deg. Sejak saat itulah, aku mulai menggiatkan do'a dan dzikir.

Namun, takdir ternyata memang berkata lain. Hati yang awalnya ragu, kini menjadi yakin. Kesenangan berubah menjadi kegelisahan. Aku tidak diterima SNPMTN. Siswa lain yang berada di bawahku malah yang diterima. Aku sedih bercampur malu. Citra yang kubangun dengan kata "rajin, pintar, ambisius" hilang dalam sekejap. 

Aku hanya mampu tunduk saat teman-teman menatapku. Aku pun diam saat mereka bercerita tentang nasibnya yang juga tidak diterima. Meskipun banyak teman-temanku yang bernasib sama, tetap saja aku masih punya malu sebesar gunung di punggung yang tengah kubawa. 

Di hari pengumuman, banyak temanku yang menangis. Namun yang menarik perhatian, ada satu orang yang karena tangisan sesenggukannya hingga dikelilingi teman-teman sekelas dan diberi begitu banyak pengertian.

Singkat cerita, ia juga tidak diterima SNMPTN. Ia menangis karena tidak bisa masuk di jurusan yang diinginkan sekaligus merasa telah mengecewakan orang tuanya yang telah membiayai sekolah. 

Melihatnya, aku kasihan bercampur kesal. Bukannya tidak mau pengertian. Toh, dia masih bisa ikut SBMPTN. Kalaupun tidak masuk, dia juga bisa ikut mandiri karena dia termasuk beruntung berada di golongan kaum yang mampu. Apadaya aku yang tergolong tidak mampu, bahkan berhasil lolos SBMPTN pun aku juga tidak mampu bayar per semesternya. 

Namun meskipun banyak kekurangan, aku tidak patah semangat. Aku masih ingin kuliah. Aku pun berniat untuk ikut ujian SBMPTN. Aku bersyukur pada Allah SWT dan berterima kasih pula pada guru karena aku diikutkan program bidikmisi. Dengan begitu, aku bisa lanjut untuk ikut ujian SBMPTN. Saat itu aku bertekad, aku harus bisa lolos jalur bidikmisi agar orang tuaku tidak banyak memikirkan tentang uang kuliah.

Aku pun mengambil SBMPTN MIPA dengan jurusan biologi. Persiapan telah kusiapkan dnegan matang. Aku membeli buku soal SBMPTN. Aku belajar siang dan malam.  Berdo'a di setiap akhir sholat dan setiap waktu akan belajar. Lalu, tibalah saat hari-H. Aku begitu kaget dengan soal-soal yang disajikan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline