Selamat untuk pak Mochamad Iriawan atas jabatan barunya, memimpin PSSI periode 2019-2023, saya tahu sudah mulai bulan Juli, Iriawan keliling daerah untuk mendapatkan dukungan dari Asprov, bahkan jendral bintang tiga ini berani mengklaim 50 suara voters, dan hal itu memang terbukti dalam pemilihan ketua PSSI tadi pagi dari 85 voters 82 diamanatkan kepadanya.
Tugas berat sudah menanti Iwan Bule untuk segera melakukan pembenahan suporter agar tidak melakukan kericuhan. Sanksi berupa denda atau hukuman seumur hidup bagi pelaku pengerusakan adalah lagu lama, saya mengharapkan ada terobosan baru. Hal-hal menyangkut moral dan kedewasaan menerima kekalahan seperti layak dilakukan perubahan secara radikal dalam memberikan sanksi.
Pada laga antar Persebaya kontra PSS Sleman pada selasa 29 Oktober lalu, terjadi pengerusakan stadion gelora bung tomo. tindakan ini dipicu kekalahan yang dialami oleh Persebaya dengan skor 2-3, untuk kemenangan PSS. Sekelompok suporter yang tidak terima turun stadion dan melakukan pengerusakan gawang, papan iklan dan bench tim tamu.
Memang tidak ada asap tanpa api, berdasarakan pengamatan saya dalam laga tersebut wasit cukup tegas, wasit sekelas Thoriq Al Katiri memimpin laga dengan aman, PSS Sleman juga tidak bermain kotor.
Lantas apa hanya karena kalah supoter melakukan pengerusakan, padahal stadion ini akan digunakan untuk salah-satu value paiala dunia u20 2021.
Tindakan semacam ini menunjukkan ketidak dewasaan suporter, dan sangat mungkin untuk ditiru oleh suporter yang lain apabila tuan rumah kalah. Dan yang paling dirugikan adalah menejemen Persebaya sendiri harus harus mendapat sanksi, tentunya buntut lain adalah penundaan laga kontrra PSM.
Masih soal anarkisme, Gubernur kalteng Sugianto Sabran melakukan aksi lemparan botol, saat menyaksikan pertandingan Kalteng vs Persib.
Ternyata bapak gubernur yang terhormat ini merasa tidak terima karena ditegur oleh AKBP Timbul Siregar, tidak sampai disitu setelah tersulut emosi gubernur kalteng tersebut menghampiri AKBP Timbul siregar dan terjadi perdebatan.
Saya jadi ingat waktu sekolah dulu bertengkar dengan teman sendiri hanya karena diejek dengan menyebut nama bapak, tentu bagi saya hal semacam ini menyulut emosi sehingga saya merasa wajar dong kalau marah dan sampai bertengkar.
Namun, yang membuat saya sadar adalah perkataan guru saya waktu itu, beliau mengatakan "Jika pertengkar dibenarkan hanya karena emosi, maka rusaklah segala urusan ini.