Bersiaplah merayakan tahun baru yang kurang dua bulan lagi. Sebab apa? Apa karena tahunnya cantik? Bukan! Sebab ada kenaikan tarif BPJS Kesehatan.
Nampaknya tahun baru 2020 tidak terlalu membahagiakan bagi semu orang karena pemerintah akan menaikkan tarif BPJS mula 1 Januari 2020.
Kenaikannya sebagai berikut;
Penerima Bantuan Iuran pusat dan daerah yang awalnya 23.000 menjadi 42.000
Kelas I dari 80.000 menjadi Rp 160.000
Kelas II yang awalnya 51.000 menjadi 110.000
Kelas III dari 25.500 menjadi 42.000
Selain BPJS, tarif pelayanan publik lainnya juga akan naik pada 2020, yakni tarif tol dan tarif listik.
Termasuk juga kenaikan tarif cukai rokok. Tarif cukai rokok akan naik sekitar 25 persen atau harga rokok akan berkisar diangka 35.000 pada awal tahun 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kenaikan tarif cukai rokok yang ditandatangani pada pertengahan Oktober 2019 lalu.
Hal semacam ini tentunya menjadi tantangan bagi kita semua, bahwa segala kebutuhan primer dan sekunder tentu akan naik tiap tahun adalah sesuatu yang lumrah adanya.
Kenaikan iuran BPJS yang dibarengi dengan kenaikan cukai rokok menarik untuk disandingkan. Dalam berbagai reseach di berbagai negara belahan dunia ada sebuah fakta bahwa kemiskinan berkolerasi dengan perokok, di negara-negara berkembang bahkan orang lebih mementingkan kebutuhan rokok daripada pendidikan bagi anak-anaknya. Rokok telah menjadi bagian dari kebutuhan yang mendasar bagi mereka.
Kebutuhan utama seperti pendidikan tempat tinggal dan kesehatan terkalahkan oleh belanja rokok. Dalam sebuah research The Global Tobacco Crisis, WHO mencatat orang miskin di Bangladesh menghabiskan 10 kali untuk membeli rokok dibandingkan biaya untuk pendidikan. Di Mesir, orang miskin di sana membelanjakan 10 persen kebutuhan rumah tangga mereka hanya untuk rokok.
Di Indonesia lebih parah lagi, keluarga miskin di negeri ini menghabiskan 15 kali pendapatannya untuk asap rokok. Sungguh ironi memang, kebutuhan pokok justru habis untuk barang yang dianggap buruk bagi kesehatan ini.
Hemat penulis bahwasanya kenaikan tarif BPJS ini perlu disikapi denga positif justru karena akan menjadikan sebuah tantangan bagi seorang kepala keluarga untuk bisa mengatur keuangan dalam keluarganya.
Namun alangkah lebih bijaknya jika pemerintah melalui menteri kesehatan untuk mengkaji ulang kenaikan tersebut, karena seyogyanya BPJS merupakan peran pemerintah dalam mensejahterakan rakyat melalui pemberian jaminan kesehatan.
Oleh karena itu berdasarkan pandangan penulis bahwa agar kebijakan kenaikan tarif pelayanan publik ini benar-benar memenuhi rasa keadilan, maka harus ada kajian yang komprehensif.
Keadilan distributif bukan Komutatif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang tidak memberikan hak yang sama kepada setiap orang akan tetapi keadilan yang dapat memberikan hak proporsionalitas dalam penerapan. Dalam hal ini iuran BPJS yang akan dinaikkan tahun depan justru bukan solusi naiknya defisit keuangan pada opersional pelayanan BPJS Kesehatan.