Lihat ke Halaman Asli

Roisah Rihhadatul

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sepenggal Asa di Ujung Nestapa

Diperbarui: 20 November 2024   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Haiii, lama tak bersua denganmu, kompasiana. Sudah hampir sebulan, kurang lebihnya. Untuk kali ini, aku tak akan menulis tentang asmara. Tetapi, aku ingin sedikit bercerita. Bercengkrama perihal kehidupan fana, yang bahkan aku belum tau bagaimana ujungnya. 

Aku bingung harus memulainya dari mana, karena setiap kali aku melangkah, tak jarang aku merasa kehilangan arah. Seringkali hati kecilku bertanya-tanya, apa sih tujuan hidup sebenarnya? Dan dari sekian banyak manusia, mengapa aku yang dipilih-Nya? 

Begitu labil aku melontarkan segenggam pertanyaan bodoh tak terkira. Tak sedikit yang mengira bahuku sekuat baja, pun sehebat arjuna. Aku bukanlah sosok yang pandai bercerita. 

Bahkan untuk sekedar merangkai kata saja, aku masih perlu banyak banyak membaca. Aku baru menyadari, bahwa ternyata sejauh ini, aku tumbuh di lingkungan yang memang tidak pernah memberiku kesempatan untuk bersuara, ruang berpendapat, dan berkeluh kesah. Ya, lingkungan yang secara tidak langsung menuntutku untuk memahami semuanya. 

Muak. Katanya, lahirku adalah anugerah dan disambut dengan baik oleh semesta. Namun siapa sangka, dewasa kini aku terpikir hal konyol, seperti, "siapa juga yang mau dilahirkan jadi anak pertama?" Mengapa tidak ada yang memberi tahuku, bahwa menjadi anak pertama seberat ini rasanya? Dan mengapa anak pertama pula yang harus mengerti akan segalanya? 

Tak habis-habis aku menanyakan itu semua. Mungkin, sepenggal asa yang sudah terbaca oleh kalian adalah bagian dari nestapa yang sangat sulit aku ungkapkan. Ribuan teka teki dari semesta, telah aku temukan jawabannya. Lelah. Hanya itu kata yang bisa terucap dengan sederhana. 

Cukup mewakili, bukan? Bagaimana bisa aku bertahan sejauh ini sendirian? Jika melihat kilas balik di belakang, seberapa banyak airmata yang jatuh di tengah perjalanan? Seberapa sesak dada ini menahan rintihan sedu di depan semua orang dan menutupinya dengan tawa? 

Seberapa sering bantal dan boneka boba menjadi saksi isak tangis yang tertahan dan tak kunjung reda? Pun, berapa malam yang sudah aku lewati tanpa istirahat tenang di dalamnya?

Tak peduli dengan itu semua, alih-alih ragaku kuat melawan segala badai yang ada. Menepis asa yang tak jarang datang secara tiba-tiba. Memeluk erat nestapa yang hadirnya membawa seonggok luka. 

Ditemani temaram cahaya bulan di ujung malam yang berusaha memancarkan keindahannya. Terima kasih telah bersedia untuk membaca. Semoga, masih ada secercah harapan di masa depan, yang bisa aku jadikan alasan dan tujuan mengapa aku harus tetap bertahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline