Persaingan energi global telah menjadi isu yang marak dikaji sejak abad ke-20 dimulai. Seiring meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, negara-negara industri mulai saling membangun dan mengalami peningkatan kebutuhan energi. Pada kawasan Asia Timur, Tiongkok menjadi salah satu negara yang sangat membutuhkan cadangan energi yang sangat banyak. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor salah satunya Pertumbuhan ekonomi Thina yang pesat. Namun, tentunya bukan Tiongkok yang membutuhkan energi di Asia Timur, tetapi juga negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan. Oleh sebab itu, esai ini ditulis untuk membahas dinamika geopolitik dan strategi serta dampak dari Tiongkok bersaing dengan negara di kawasan Asia Timur dalam mengamankan sumber daya energi yang berasal dari impor negara lain.
Akar dari Permasalahan
Energi adalah satu dari beberapa faktor pendorong utama keberlanjutan hidup dari suatu bangsa negara karena banyak sektor-sektor didalam bidang kehidupan masyarakat yang bergantung pada ketersediaan sumber daya energi (Suhito,2015). Sejak abad ke-20 negara-negara industri mulai mengalami peningkatan kebutuhan energi yang besar sangat berpengaruh terhadap persaingan energi global. Kepentingan terhadap energi didunia sering juga dikenal dengan keamanan energy atau energy security (Cherp & Jewell, 2011). Pasca Reformasi Ekonomi di tahun 1978, Tiongkok mulai mengalami proses industrialisasi (Jian, 2009) dan berdampak pada peningkatan kebutuhan pasokan minyak bumi Tiongkok.
National Bureau of Statistics mengungkapkan bahwa Republik Rakyat Tiongkok menghabiskan 316,97 juta mt minyak mentah dalam paruh pertama tahun 2019. Pada bulan November 2019, Tiongkok mengimpor minyak mentah sebanyak 11,18 juta barel per hari (Petro Chemical News, 2021). Peningkatan konsumsi minyak bumi Tiongkok yang tidak sebanding dengan produksi minyak bumi dalam negeri akhirnya membuat Tiongkok di tahun 1993 mulai mengimpor untuk memenuhi kebutuhan energi. Tiongkok mengalokasikan energi minyak dan energi gas untuk mendukung kebutuhan energi di sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik. Menurut data, sekitar 48,5% dari total permintaan minyak Tiongkok berasal dari sektor transportasi, termasuk bahan bakar untuk kendaraan dan penerbangan (Nakhle, 2023). Sektor industri juga membutuhkan sekitar 14,6% dari total konsumsi minyak. Dalam konteks gas alam, sektor industri merupakan pengguna terbesar, menyerap sekitar 42% dari total konsumsi gas, diikuti oleh sektor residensial dan komersial yang mencapai 33% (IEA,2022). Oleh karena itu, Tiongkok membangun strategi keamanan energi dengan bekerjasama dengan beberapa negara di Timur Tengah dan Rusia untuk mengahadapi situasi peningkatan yang signifikan terhadap kebutuhan energi saat ini. Sejak berakhirnya perang dingin, hubungan energi antara Cina dan Rusia semakin kuat, dengan proyek-proyek strategis seperti pembangunan minyak di Siberia Timur yang bertujuan untuk memastikan pasokan energi yang stabil untuk Cina. Strategi ini tidak hanya untuk memperkuat posisi Cina dalam menghadapi tantangan geopolitik global, tetapi juga dalam mengahdapi kekhawatiran keamanan energi yang dihasilkan dari ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022.
Dinamika Geopolitik
Permasalahan persaingan terhadap kebutuhan energi ini membuat interaksi yang terjadi diantara negara- negara Asia Timur cenderung memanas. Hal ini terlihat dari hubungan Tiongkok dan Jepang dimana pada awalnya, keduanya menjalin sebuah hubungan yang harmonis dan kooperatif. Akan tetapi, hubungan baik yang telah terjalin sejak dekade 1970-an tersebut berubah menjadi kompetitif ketika Tiongkok menjadi salah satu negara pengimpor minyak di tahun 1993 (Liao,2006:26). Hal ini terjadi sebagai akibat dari tidak adanya keseimbangan pasokan energi yang berasal dari negara-negara pengekspor minyak dan energi lainnya terhadap kebutuhan energi kedua negara sehingga keduanya harus bersaing untuk mengamankan pasokan energi mereka. Unsur kompetisi yang muncul ini membuat Tiongkok bergerak lebih cepat dalam mengamankan pasokan energi bagi kelangsungan hidup mereka yang berasal dari negara-negara mitra agar tidak mendapatkan intervensi dari negara maju lainnya seperti Jepang dan Amerika Serikat, yang mana mereka juga sangat membutuhkan pasokan energi dari negara-negara pengekspor energi didunia. Dalam upayanya mengamankan pasokan energi, pemerintah Tiongkok membuat sebuah langkah strategis dengan cara menarik keterkaitan antara energi, pertumbuhan ekonomi, dan kekuatan politik sehingga menghasilkan sebuah praktik kerjasama diplomasi energi (Oodgard,2014).
Tiongkok menggunakan strategi bilateralisme untuk mengamankan kebutuhan energi negaranya. Pemerintahan Tiongkok mengutamakan hubungan bilateral langsung demi mempererat hubungan secara intens serta membangun kerjasama dalam jangka waktu yang relatif panjang dimana hal tersebut dapat terlihat dari upaya Tiongkok untuk membangun sebuah jaringan pipa minyak bawah tanah yang mampu menyalurkan minyak dari negara negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan dan Uzbekistan langsung ke Tiongkok(Oodgard & Delman, 2014). Selain itu, Tiongkok telah lama membangun kerjasama dibidang energi dengan negara Rusia semakin mempererat hubungan diplomatik energi mereka. Rusia merupakan produsen energi minyak dan gas terbesar didunia(Holtzinger,2010). Tiongkok melihat negara Rusia sebagai mitra yang strategis dalam memenuhi kebutuhan energi negara mereka. Dengan meningkatnya ketergantungan kebutuhan pada mpor energi yang mana sekitar 84% dari konsumsi minyak di Tiongkok dipnuhi melalui impor. Tiongkok melihat negara Rusia sebagai mitra yang strategis dalam memenuhi kebutuhan energi negara mereka.
Dampak dari Konflik
Hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Rusia ini dapat mempengaruhi dinamika geopolitik global. Ketergantungan yang lebih besar pada Rusia dapat memperkuat aliansi antara kedua negara, namun juga dapat memicu reaksi negatif dari negara-negara Barat yang khawatir akan meningkatnya kekuatan Tiongkok dan Rusia di panggung internasional. Diplomasi energi Tiongkok terhadap Rusia merupakan bagian dari upaya diversifikasi impor energi Tiongkok yang banyak melibatkan aktor-aktor perusahaan energi nasional Tiongkok. Hubungan kerja sama energi tidak hanya dibangun dalam kerangka bilateral tetapi juga dalam kerangka multilateral sebagai bagian dari upaya Tiongkok-Rusia untuk mempercepat pengembangan jaringan pipa Siberia Timur yang memungkinkan Rusia untuk mengalihkan fokus ekspor energi dari pasar Eropa yang semakin tertekan akibat sanksi internasional, menuju pasar Asia, terutama Tiongkok. Dengan meningkatkan jumlah investasi dari Rusia ke Tiongkok, yang kini menjadi sumber utama investasi asing di Tiongkok, negara-negara lain seperti Jepang dan Korea mungkin akan menghadapi tantangan dalam memastikan pasokan energi yang stabil dan dapat diandalkan. Setelah adanya sanksi dari negara-negara Barat, Rusia kini lebih fokus pada ekspor ke Tiongkok. Jepang dan Korea Selatan, yang juga sangat kuat dalam hal energi, juga dapat mengalami peningkatan tekanan untuk mendapatkan sumber energi alternatif. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pasar energi di Asia-Pasifik, di mana negara-negara yang terlibat harus menyesuaikan diri dengan perubahan harga energi dan pola perdagangan yang mungkin akan meningkat sebagai respon terhadap persaingan yang lebih ketat.
Kesimpulan
Situasi kebutuhan sumber daya energi yang meningkat dengan keterbatasan ketersediaan sumberdaya energi mengakibatkan munculnya ketegangan di negara kawasan Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Negara industri yang harus terus memenuhi kebutuhan negara saling berkompetisi dalam mendapatkan cadangan sumber daya energi dengan menjalin kerjasama dan hubungan diplomasi yang baik dengan negara produsen sumber daya energi. Tentunya situasi ini berdampak terhadap stabilitas geopolitik dunia karena kerjasama yang dijalin Tiongkok dan Rusia yang semakin erat mempunyai implikasi terhadap lanskap energi global. Hal ini berpotensi mengurangi ketergantungan Rusia pada pasar Eropa dan memberi China akses lebih besar terhadap sumber daya energi Rusia, hal ini akan mempengaruhi stabilitas pasar global, Tiongkok dapat mengurangi ketergantungan pada sumber energi dari negara lain, Tiongkok berada diposisi yang lebih kuat dalam negosiasi perdagangan global, memungkinkan mereka untuk mendapatkan harga yang lebih kompetitif dan stabil dalam jangka panjang. Selain itu, kerjasama ini juga berpotensi meningkatkan transfer teknologi dan investasi dalam infrastruktur energi, yang dapat memperkuat kapasitas produksi domestik Tiongkok.