Produk yuridis yang dinantikan dalam pembaharuan hukum, menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Karena, cita-cita hukum yang dirasa kurang sempurna terhadap gejala-gejala yang tumbuh ditengah masyarkat, tentu menjadi diskursus bagi hukum itu sendiri. Lembaga legislatif dalam hal ini DPR merupakan tonggak pertama yang menentukan bahwa hukum itu mengantarkan kemanfaatan, kepastian, dan keadilan hukum bagi masyarakat, dengan wewenangnya sebagai lembaga ius constituendum tentu menjadi arah perkembangan hukum yang responsif. Berangkat dari situ perlu tatanan ulang terkait kesenjangan kesusilaan yang perlu diatur dalam bentuk penal.
Lahirnya suatu keresahan masyarakat dalam tindak pidana kekerasan seksual, tentu dari esensi ketidakadilan akan hal sanksi pidana terhadap pelaku tersebut. Dengan itu banyak tuntutan dari masyarakat bahwa perlu adanya suatu peraturan atau produk hukum untuk menanggapi permasalahan tersebut. Rencana dalam pembuatan UU yang menanggulangi kekerasan seksual sudah di rancang sejak tahun 2014 oleh Komnas Perempuan, namun banyak hal yang menghambati dalam rancangan UU ini. Salah satunya jalan terjal politik yang terjadi pro kontra antara pembentuk undang-undang dan para ahli dan ormas, Sehingga terjadi penghambatan dalam memastikan disahnya Undang-undang ini. Pada tahun 2014 Naskah Akademik dan draf RUU pengahapusan seksual ini dibuat oleh komnas perempuan bersama Forum Pengada Layanan (FPL) dan pada tahun yang sama RUU PKS masuk dalam Prolegnas. Pada tahun 2016 Komnas perempuan dan FPL menyerahkan draf dan naskah akademik RUU PKS pada DPD RI Komite III, Yang kemudian masuk pada penambahan prolegnas. Disini terjadi perlambatan terhadap pembahasan RUU PKS ini, sampai pada tahun 2017 DPR-RI memutuskan RUU PKS menjadi inisiatif RUU DPR-RI. Hingga tahun 2018 mulai ada desakan dari berbagai ormas dan masyarakat terkait kapan disahkannya RUU PKS ini. Melihat banyak terjadi kasus kasus kekerasan seksual yang semakin marak, dan pemberian sanksi terhadap pelaku yang dinilai tidak ada unsur keadilan. Pada 2020 DPR RI menghapus RUU ini dalam daftar Prolegnas, dengan alasan pembahasan judul dan penamaan kekerasan seksual yang alot, karena banyak menilai pengertian kekerasan seksual dalam RUU PKS ternilai terlalu feminism. Sehingga terjadi demonstrasi oleh berbagai kalangan untuk mendesak DPR berhenti menhapus dalam daftar prolegnas. Dalam pembentukan suatu aturan harus dilandasi dengan tatanan kesusilaan yang tentu dalam hal ini hak demokratis dan hak untuk mendapat payung hukum terhadap kecaman kekerasan seksual perlu dicamkan. Tidak berhenti dari situ politik telah mewarnai konflik dalam pembentukan RUU PKS, pada tahun 2021 kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia mengeluarkan Permen No. 30 tahun 2021 yang didalamnya mengatur tentang kekerasan seksual dalam lingkup pendidikan. Muncullah perdebatan panas di berbagai kalangan dengan dalih bahwa UU PKS belum disahkan akan tetapi UU yang secara hirarki lebih rendah terlebih disahkan. Tentu hal ini akan menjadi tumpang tindih aturan yang tidak kompleks dan kredibel. Dengan menilih pada asas lex specialis derogat lex generali maka Permen ini tidak dikhususkan jika UU PKS nantinya disahkan. Dengan itu DPR terus membahas UU PKS ini agar disahkan, supaya secara de facto tindak pidana kekerasan seksual mendapatkan perlakuan yang adil oleh apa yang dia perbuat. Jalan terjal pembahasan RUU PKS mulai semakin intens, hingga Badan Legislatif dan para pihak (termasuk Komnas Perempuan) merubah judul UU menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan alasan penegak hukum agar lebih mudah dalam menjalankan tugas-tugasnya, Dengan garis besar tidak mengubah secara subtansif dari isi, objek dan, subjek pada RUU TPKS tersebut. Pada RUU TPKS lebih dijelaskan mengenai motif kekerasan seksual dan macam macam kekerasan seksual, yang telah mengalami pembaharuan secara luas dibanding dengan tindak pidana Kekeran Seksual pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pada tanggal 12 April 2022 ketua DPR RI Puan maharani menjalankan amanah presiden dengan disahnya UU TPKS atas perubahan nama dari UU PKS. Udara segar bagi negara indonesia khususnya bagi pelaku kekerasan seksual, karena telah hadir peyung hukum yang dinilai lebih spesifik dalam hal pemidanaan pelaku kekerasan seksual, yang menjadi momok teror bagi kaum lemah ( perempuan). Dengan itu masyarakat perlu terapan bagi penegak hukum atas implementasi dari UU TPKS tersebut, sesuai dengan tatanan tujuan dan kepastian hukum yang dirasa sebelumnya mengalami diskresi payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Dengan itu penegak hukum semakin optimis dengan lahirnya UU ini masyarakat lebih responsif terhadap kejahatan tindak pidana kekerasan seksual di negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H