Lihat ke Halaman Asli

Pahat Rasa

Diperbarui: 24 September 2024   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana rasanya ketika tangismu diabaikan? Keluhmu dibiarkan menggantung menjalari kerongkongan hingga menyisakan bercak merah? Terkadang, berlajan ditapak kaki sendiri lebih baik. Meski jalan tak selalu mulus.

 ****

Jakarta, kota yang tak pernah surut manusia. Apalagi sekarang waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Hawa panas disertai polusi seolah menjadi kenangan yang tak akan pudar bagi siapa saja yang menjajakan kakinya di kota ini. 

Mahen Danendra lelaki berparas tampan dengan kaki jenjangnya terus melangkah menyusuri jalanan. Ia berjalan cepat sembari menengok jam tangannya. Peluh keringat seakan menjadi saksi bisu betapa menggeloranya daya juang untuk pergi ke Sekolah. Meski nanti ia akan menjadi buronan Guru BK. 

****

Suasana Kelas Sepuluh Mipa 2 tampak lengang, hanya suara Guru yang terdengar menggelegar mengisi seisi Kelas.

"Baik, anak-anak, sekarang kalian buka modul Fisika kalian dan kerjakan halaman tiga ya, nanti dikumpulkan," jelas Pak Warsa.

"Baik, Pak," jawab seluruh Siswa Siswi. 

Seluruh Siswa Siswi mengerjakan tugas Fisika, tak jarang dari mereka yang saling lempar jawaban.

"Permisi, Pak," seru seorang lelaki dengan nafas terengah, dahinya diiringi keringat yang mengucur deras. 

Seluruh isi Kelas memusatkan tatapan mereka pada sumber suara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline