Kepergian seseorang di dunia ini, acapkali meninggalkan banyak bekas dalam batin. Sampai sesaknya, sesering itu pula air mata meleleh dari kedua bola mata. Sedih...
Apalagi jika seseorang yang meninggal dunia itu, adalah seseorang yang teramat dan terlajur dalam untuk dicintai, niscaya luapan air mata akan menyembabkan hingga beberapa hari.
Itulah respon tubuh yang diwakili oleh air mata. Pun, jika terlalu kuat untuk membendungnya, sesak dada akan plong saat menghempaskan nafas dari mulut dan hidung.
Namun, kesedihan itu akan berubah seketika. Saat kesadaran fikiran mulai menetralkan batin. Bahwa terlalu mengenang, bersedih, dan nelangsa, hanya akan menyisakan kesia-siaan. Waktu yang berputar akan habis. Harusnya, segera beranjak. Bergerak untuk terus melakukan langkah-langkah kongkrit.
Ya, sesekali memang boleh mengenang: nostalgia. Menengok ke belakang tentang romantisme masa lalu. Tapi jangan terlalu dalam.
Barangkali itu, yang dapat saya rasakan saat menghadiri 1000 Hari setelah kepergian almarhum Mas Andry Dewanto Ahmad. Seseorang yang di usia mudanya, dengan memikul banyak tanggung jawab, pergi begitu saja.
Banyak yang merasa kehilangan. Entah itu keluarga, teman sejawat, para kader, para junior, akitivis, pengurus NU, dan lain-lainnya.
Dikenal sebagai seorang aktivis yang ringan tangan, amanah, senantiasa mengkader, juga tak pelit untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Tapi, lagi-lagi, menghilang begitu saja.
Di malam 1000 Hari almarhum pun, seakan tak ada yang hilang, barangkali. Puluhan hingga ratusan aktivis mendoakan dan bernostalgia. Bahwa Jawa Timur pernah ada seseorang seperti almarhum Mas Andry.
Walau, saya tak pernah berjumpa secara langsung, rasa kehilangan itu ada.