Lihat ke Halaman Asli

Asik Ga Asik

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berjuang dalam kehidupan dunia sekarang memang "asik gak asik jika kata bang Iwan Fals", ‘’kadang asik kadang enggak disitu yang asik’’

Aku ingin menceritakan sedikit kisah tentang sebuah kampung dengan masyarakat yang menurutku kurang siap hidup dalam kondisi dunia sekarang.

Semua berawal dari segala hal dengan banyak keterbatasan yang di derita kampung tersebut, kondisi jalan yang masih layak jika hanya di kendarai Moto Cross saja, ya.. jalan berbatu yang cukup semrawut tak teratur itu menjadi satu-satunya akses transportasi menuju kampung tersebut, belum lagi kondisi gumpalan semak belukar yang terpaksa harus bergesekan dengan kaki jika setiap kita menginjak jalan setapak di sekelling kampung itu.

Seaakan jarang melihat manusia asing dari luar, wanita berpakian serba kusam itu berhenti terdiam di depan pitu rumahnya, pandang matanya seperti fokus tak tergeser kearah lain, senyuman manis wanita itu membuat aku harus membalas senyuman yang wanita itu lontarkan .

Aku berhenti di sebuah warung sederhana yang menyediakan jajanan yang sering di konsumsi anak-anak kecil, waktu itu aku memesan segelas kopi hitam, jawab penuh senyum penjual berjenis kelamin wanita di dalam warung itu.

Wanita itu mengantarkan kopi yang saya pesan dengan gaya seorang artis yang membuat keslahan di panggung pentas, aku tersenyum sedikit melihat tingkahnya yang lucu itu. Tentu aku tak ingin menyia-nyiakan momen ini, akau yang terus di hantui rasa penasaran ketika memasuki kampung ini mencoba untuk bertanya-tanya kepada wanita itu.

”Maaf bu, ini si namanya kampung apa bu…?”

”Pesawahan” jawab singkat dngan gaya seorg pemalu wanita itu berbalik Tanya padaku “masnya si dari mana asalnya.?”

Aku menjawab “dari Baturraden, aku masih sekolah disana”

Ibu itu bertanya lagi ”sekolah dimana mas jurusanya apa.?”

Aku menjawabnya lagi “sekolah di PLKM (pendidikan layanan khusus menengah) Boarding School “Mbangun Desa” kalau jurusanya di kader desa.” Dan aku bertanya lagi pada wanita itu, “maaf di kampung ini tokoh desanya ruahnya di mana ya..? dan namanya siapa.?”

Wanita itu menjawab “namanya Salimudin, rumahnya tidak terlalu jauh dari Masjid, rumahnya bercat warna putih, mas.”

“terimakasih ya.” Jawab singkat dariku, tanpa menunggu lama aku menghabiskan cairan kopi itu dan bergegas mendatangi orang yang bernama Salimudin itu.

Trnyata memang benar salim adalah salah satu tokoh di kampng ini, ketika aku brtanya padanya, dia menjawab dengan seksama, bahkan bercerita banyak padaku tentang apa sbenarnya kampung ini.

Kampung ini memang jarang mendapatkan sentuhan dari pihak luar. Bahkan di kampung ini belum ada sekolah satupun, anak-anak di kampung ini harus berjalan kurang lebih satu kilometer menuju sekolah SD yang berada di kampung sebelah, belum lagi kebanyakan masyarakat kampung ini khususnya kaum lelaki yang seharusnya berperan penting dalam kepemimpinanya di rumah tangga,mereka terpaksa harus sering meninggalkan keluarganya untuk sekedar mendapatan mata penghasilan dengan cara merantau.

Saat itu juga terlitas dalam pemikiranku jika kampung ini menjdi kampung Laboratorium sekolahku sekalius agar aku bisa belajar lebih dalam bidang kader desa, dan saat itu juga Salimudin si tokoh desa itu mengizinkan dengan banyak ucapan terimakasihnya.

Waktu demi waktu mulai berjaan dengan sendirinya, aku dan teman-teman sekolahku yang lain, mulai beradaptsi di kampung itu.

Kami memulai bergulir di kampung itu, memulainya dengan kegiatn sensus penduduk, dari sensus itu kami mendapatkan banyak inforasi tentang kondisi lebih rincinya para penduduk kampung ini, hingga berusaha memecahkan beberapa permasalahan dengan memanfaatkan potensi yang di miliki kapung ini.

Kami mulai banyak mengenalkan warga kampung ini dngan beberapa jaringn teman-teman pejabat kami yang berada di pemerintahan pusat maupun wilayah, hingga pada suatu saat, permasalahan-permasalahan di kampung itu mulai terpecahkan, kami memulai dengan memanfaatkan potensi keindahan alam di sekitar kampung itu, dengan melakukan pembangunan atau perbaikan jalur-jalur sekitar kampung itu, hingga akhirnya pemerintah memperbaiki betuh jalur transportasi menuju kampung itu, kami juga membangun sebuah sekolah MTS yang kita mulai dari kerja keras kita sendiri, hingga terbangunlah gedung permanen yang saat ini kami tinggali.

Namun semua kisah itu menjadi lebih dramatis, ketika pemikiran mereka mulai berkembang tak terarah, namun dengan gaya seorang yang sok tau apalagi manusia yang barnama Salimudin, dia berubah karakter begitu singkatnya tanpa mencari tau yang sebenarnya terjadi, entah dia terkena ramuan sihir darimana aku tidak tau tapi yang jelas bahwa dia beranggapan kalau selama ini kampung ini telah di jual semena-mena oleh sekolahku. Mereka berangapan bahwa kita mendapat banyak untung dari beberapa program pembangunan yang kita dirikan di kampung itu, yang mengesalkan lagi setelah kami berusaha mati-matian untuk mencoba meringankan ketertinggalan mereka, bukanya balas budi, kata terimakasih tak semua warga kampung itu mengucapkanya. Jika kata pepatah “air susu dibalas dengan air tubah” itulah yang kami rasa saat ini.

Tetapi kami mencoba untuk terus bertahan di kampung itu sampai kapanpun, kami berperinsip. Sekali kita menceburkan diri ke kolam, jernih keruhnya kolam itu kita haru berenang di dalamnya hingga mendapat sebuah kebahagiaan. Hingga saat ini kami masih menempat tinggali kampung itu.

BERSAMBUNG....

Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang selama ini aku raskan sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline