Lihat ke Halaman Asli

Rohmat Sulistya

menulis, karena ingin.

Sekolah (Dasar) Negeri dan Mutu Pendidikan

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340769621213636608

Awal tahun ajaran baru telah tiba. Para orang tua disibukkan dengan mencarikan sekolah untuk anak-anaknya. Begitu juga dengan tahun 2012/2013 ini, sekolah-sekolah membuka pendaftaran murid (peserta didik) baru dengan waktu yang berbeda-beda. Sekolah-sekolah favorit dan berkelas bahkan sudah membuka pendaftaran pada awal tahun 2012, berarti 6 (enam) bulan sebelum jadwal pergantian tahun ajaran. Sekolah-sekolah favorit ini –sebagian besar swasta- memang sangat banyak peminat. Karena banyaknya peminat dan ketebatasan kuota/kelas maka mereka menyelenggarakan ujian seleksi masuk sekolah. Tidak adanya level menengah, sekolah SD dan TK pun banyak yang menyeleksi calon siswanya.

Tahun ini anak saya lulus TK dan akan melanjutkan ke jenjang SD. Pilihan SD yang saya rencanakan dari dulu tidak berubah yaitu SD negeri. Ketika istri saya ditanyai sesama orang tua murid TK tentang SD pilihan kami yang SD negeri beberapa orang tua agak keheranan kenapa kami memilih SD negeri. Dan memang sebelum anak-anak lulus dari TK tersebut, banyak teman-tenan anak saya yang sudah mendapatkan sekolah SD yang kebanyakan adalah SD swasta terpadu, model, atau berbasis agama ternama. Dan pasti uang pangkalnya pun cukup mahal.

Sebenarnya pilihan kami terhadap SD negeri bisa dikatakan sebagai pilihan tradisi. Dulu saya dan istri semenjak SD sampai UGM semuanya sekolah negeri. Kami ingin membuktikan kembali bahwa SD negeri adalah sekolah yang bukan rendahan. Dijaman saya dulu sekolah negeri adalah pilihan utama para orang tua. Bukan karena bayarannya yang murah, justru disekolah negeri jaman saya dulu bayaran sekolah dan uang gedung sekolah negeri tergolong mahal dibanding sekolah swasta di wilayah yang sama. Tapi sekarang jaman sudah berubah. Semenjak ada trend sekolah terpadu, sekolah model, sekolah berwawasan global, sekolah internasional, sekolah (R)SBI, dan berbagai istilah-istilah yang belakangan muncul maka sekolah-sekolah tersebut menjadi rujukan orang tuanya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dan itu adalah realitas dan hak orang tua untuk memilihkan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya.

Mengapa sekolah dasar negeri semakin tidak diminati?

Mutu adalah sebagian jawaban yang dikemukakan banyak orang. Sebagian SD negeri semakin tidak menjaga mutu lulusan dan mutu proses belajar mengajar. Apakah jawaban ini benar, masih dapat didiskusikan lagi.

Sebenarnya saya ingin “menuduh” bahwa input siswanyalah yang menjadi pembeda sekolah bermutu dengan kurang bermutu. Sekolah-sekolah berlabel mentereng mampu memilih input siswanya dengan serangkaian tes sehingga mendapatkan siswa yang lebih berkualitas. Pada level sekolah dasar, sekolah-sekolah favorit tersebut sudah mendapatkan siswa kelas 1 SD yang sudah bisa membaca dengan amat sangat lancar, bisa berhitung dengan baik, dan bisa membaca Al Quran dengan baik. Kalau sudah demikian maka sekolah itu tinggal mempertahankan kualitas dan meningkatkannya dengan modal guru yang kompeten, gedung sekolah yang representative, dan kegiatan penunjang (ekstra) yang bergengsi.

Sekarang kita lihat kondisi sekolah dasar negeri  (terutama didaerah/pinggiran). Sekolah dasar negeri hanya mendasarkan umur sebagai kriteria seleksi. Aturan anak yang hendak masuk SD secara hukum/peraturan berumur 7 tahun. Tetapi banyak pendaftar yang umurnya tidak pas/kurang dari 7 tahun, sehingga harus di urutkan. Dari proses ini saja, kita dapat menduga bahwa anak-anak yang diterima di SD ini belum tentu mempunyai tingkat kecerdasan rata-rata, belum tentu sudah bisa baca dan berhitung, dan belum tentu juga pernah bersekolah di TK! Lho….

Tetapi itulah aturan politis yang harus ditegakkan secara konsekuen. Dimasa lalu (saya kurang tahu kurikukulum saat ini) TK adalah tempat bermain dan bersosialisasi secara formal. Sehingga pada jaman saya dulu di TK tidak akan diajarkan menulis, membaca, dan berhitung. Pembelajaran formal membaca dan berhitung baru dimulai saat siswa berada di kelas 1 SD.

***

Dengan melihat kondisi itu sangat wajar apabila SD negeri ‘kurang bermutu’ dibandingkan dengan SD swasta ternama. Tetapi itu sama sekali tidak boleh dijadikan alasan untuk terus berada dalam ‘ketidakbermutuan’. Guru adalah tumpuan utama untuk mengejar ketertinggalan input siswa ini. Seharusnya di SD negeri diperlukan guru yang berkemampuan lebih daripada guru di sekolah ternama. Masalahnya adalah bisakah guru SD negeri lebih bermutu? Ini adalah tanggung jawab individu guru dan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru. Bukan hanya melalui pelatihan-pelatihan kompetensi dan pemberian sertifikasi profesi tetapi dalam harapan saya guru-guru ini diberi wawasan sebagai guru inspiratif yang bekerja dengan hatinurani dan mampu mengubah anak-anak biasa menjadi anak-anak yang luar biasa. Prof Yo (Yohannes Surya) pernah mengatakan “tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak-anak yang belum mendapat kesempatan mendapatkan guru yang baik dan metode-metode yang benar”.

Yang terakhir, semoga anak saya diterima di SD negeri. Mohon doanya.

sumber gambar: rri.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline