Kita harus berterimakasih kepada putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, atas maraknya perbincangan mengenai politik dinasti yang kini merebak kemana-mana.Karena Pencalonan Gibran itulah maka memunculkan berbagai macam diskusi dan perdebatan yang boleh jadi akan mendewasakan baik dari sisi ilmiah hingga sisi-sisi lelucon semata.
Ada yang melontarkan pendapat dengan berbagai bekal bukti-bukti ilmiah, teori-teori politik, hukum, ketatanegaraan, demokrasi dan banyak lainnya, ada juga yang melontarkan dagelan-dagelan yang kocak, konyol namun tetep bisa menyentil kesadaran politik kita semua.
Di luar perdebatan dan diskusi yang meruncing dimana-mana, sepertinya tidak ada titik temu yang memberikan kepastian tentang apakah Presiden Jokowi telah melakukan politik dinasti ataukah tidak.
Meskipun sudah banyak pakar bicara, pengamat menganalisa, politisi mengkritisi, dan rakyat biasa yang bercuap-cuap, tetap saja masalah ini terpuruk di wilayah abu-abu (grey area) yang tidak jelas kesimpulannya.
Masing-masing benar sesuai dengan sudut pandang dan pemikirannya masing-masing, tanpa bisa disepakati apa yang semestinya dipastikan sebagai ketentuan tetap dan pelajaran bagi di masa depan demokrasi dan politik bangsa ini.
Jujur saja saya tidak terlalu menikmati pergolakan pemikiran yang terjadi mengenai politik dinasti kali ini kecuali ikut tertawa geli terhadap analogi-analogi lucu namun cerdas yang bisa menghibur hati.
Misalnya sebuah dialog imajiner yang dituliskan Djatmiko Tanuwidjojo dalam menanggapi polemik politik dinasti kali ini. Untuk menggambarkan perselisihan pemikiran yang kali ini tengah terjadi, Djatmiko Tanuwidjojo secara apik mencoba menggambarkannya melalui dialog imajiner antara dirinya dan Jokowi.
Melalui tokoh A yang boleh jadi bisa sebagai penggambaran akan dirinya, Djatmiko mencoba memaparkan apa yang dipercaya Jokowi tentang politik dinasti ini. Tentu saja ini hanyalah fiksi yang tidak bisa dijadikan landasan ilmiah dalam hukum yang sah.
Apapun istilahnya untuk ini, yang jelas beginilah dialog imajiner tersebut:
A: "Pak, dulu anda pernah menyatakan tak suka nepotisme dan tak setuju politik dinasti, mengapa sekarang anak bapak disokong untuk maju menjadi calon walikota? Bukankah itu nepotisme dan membangun politik dinasti yang dulu Bapak tolak?"
B: "Wawasan sampeyan kurang tepat dan kurang luas. Coba sampeyan cek asal usul kata nepotisme. Kata itu diambil dari bahasa latin "nepos", artinya keponakan. Lha yang maju nyalon itu anak saya, bukan keponakan, kok dibilang nepotisme, piye to? Saya ini orang yang taat etimologi."
A: "Tapi kan itu namanya politik dinasti Pak?"