Konon sebagai sebuah tradisi, kekuatan emosional yang didapat dari mudik ini tidak bisa ditandingi dengan iming-iming apapun. Pun secara sosiologi, mudik dianggap sebagai salah satu cara ampuh untuk melakukan penemuan kembali ataupun penyegaran kembali jati diri seorang perantau yang sudah sekian lama tercerabut dari tanah asalnya.
Karena itulah segala upaya untuk menghentikan atau mengubah budaya mudik yang sudah seperti mendarah daging tersebut, diperlukan energi dan kerja keras yang tidak ringan. Kira-kira itulah yang harus dihadapi pemerintah sejak awal datangnya Ramadan 1441 hingga saat ini.
Mewabahnya virus corona yang tidak pernah diduga sebelumnya, telah membuat Indonesia kalang kabut dalam menanganinya. Kecepatan penularan dan penyebaran virus corona tersebut telah menyebabkan perlunya diterapkan protokol kesehatan yang ketat. Dan salah satunya adalah larangan mudik untuk lebaran sekarang ini. Pasalnya jika hal itu tidak dilakukan, maka puncak penyebaran dan penularan Covid-19 ini akan terjadi dengan berlangsungnya arus mudik lebaran tahun 2020 ini.
Karena itulah pemegang kekuasaan yaitu pemerintah harus menerapkan aturan tegas mengenai larangan mudik lebaran Idul Fitri 1441 H sekarang. Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang gampang. Begitu larangan diberlakukan, berbagai macam komentar dan polemik mengenai hal tersebut banyak bermunculan. Bahkan keraguan juga muncul dari dalam pemerintahan itu sendiri. Ketidakkompakan pendapat antarpejabat pun kerap terjadi. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo sendiri harus mengeluarkan wacana yang kontroversial mengenai mudik dan pulang kampung yang diyakininya sebagai sesuatu yang berbeda. Tidak sejalan dengan pendapat mayoritas masyarakat yang berpendapat bahwa itu merupakan hal yang sama.
Sebagai sebuah budaya dan tradisi yang sudah mendarah daging, tentu saja larangan untuk jangan mudik dulu tersebut terasa kontrasosial. Banyak kalangan masyarakat yang tidak mengindahkannya. Bahkan aturan laranngan mudik yang tegas pun, dibalas dengan upaya-upaya melanggarnya secara culas. Ada yang nekad mudik dengan bersembunyi di bagasi bus, ada yang memakai mobil derek, bahkan ada yang berjalan kaki untuk mengelabui barikade pengawasan aparat yang ketat.
Salah satu jalan terbaik untuk mengatasi hal ini adalah memberikan kesadaran tentang bahaya mudik di saat pandemi ccovid-19 ini, melalui edukasi dan sosialisasi pengetahuan tentangnya yang jelas dan gampang dimengerti. Dan kebetulan pemerintah sebenarnya memiliki waktu yang cukup panjang untuk melakukan hal tersebut.
Pandemi Covid-19 yang menimpa sebelum tibanya bulan Ramadan, memberikan banyak kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan kampanye-kampanye penyadaran yang diperlukan. Salah satunya adalah melalui iklan layanan masyarakat (ILM) yang bisa ditayangkan melalui berbagai media yang ada. Baik media utama (mainstream), maupun melalui berbagai platform social media yang ada.
Dan pemerintah pun telah melakukan hal ini. Salah satu contohnya adalah serial iklan TV bertajuk "Nggak Mudik Asyik". Salah satu versi dari serial ILM "Nggak Mudik Asyik" ini menampilkan para menteri sebagai endorsernya. Diantaranya ada Menkominfo Johnny G Plate, Menlu Retno Marsudi, Menpora Zainudin Amali, Menaker Ida Fauziah, Menhub Budi Karya Sumadi, dan Kepala KSP Moeldoko.
Yang lucu untuk versi Kepala daerah ini adalah absennya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam video tersebut. Tidak jelas apakah ini kesengajaan karena kesibukannya sehingga tak bisa ikutan, atau karena ada alasan politis lainnya entahlah.