Selama ini yang biasa disebut masyarakat umum sebagai siraman rohani adalah dakwah para ustadz, alim ulama, ahli agama, dai atau tokoh-tokoh agama lainnya. Biasanya di bulan Ramadan yang paling populis adalah apa yang disebut kultum (kuliah tujuh menit) disela-sela jamaah sholat tarawih, kuliah subuh, pengajian jelang berbuka dan hal-hal lain yang sejenisnya.
Namun merebaknya bencana wabah Corona telah membuat segalanya menjadi berubah. Siraman rohani yang diberikan para dai hanya berlaku melalui media-media teresterial seperti televisi maupun melalui media sosial yang ada. Baik berupa channel youtube atau postingan video melalui platform sosial media lainnya, live streaming, podcast, maupun webinar-webinar yang digelar.
Namun menurutku akhir-akhir ini itu semua terasa agak hambar. Ada kebutuhan akan siraman rohani dalam bentuk lain, yang menurutku lebih sesuai dengan keadaan memprihatinkan yang tengah menimpa kondisi umat saat ini. Apa artinya kita kenyang dengan tabligh-tabligh yang memberikan curahan pengetahuan keagamaan yang begitu mulia, jika pada saat ini banyak sesama manusia yang tengah sengsara.
Akhirnya aku lebih senang mendaras kemuliaan hati melalui teladan-teladan kreativitas kepedulian yang diberikan oleh para dermawan melalui para relawan yang terjun ke lapangan dengan penuh keikhlasan hati.
Kiprah relawan-relawan kemanusiaan seperti ACT (Aksi Cepat Tanggap), dompet dhuafa, Mizan peduli dan banyak lainnya lagi menurutku adalah sumur teladan, yang mata airnya tak akan pernah kering untuk memberikan air segar sebagai siraman rohani bagi kita semua di masa pandemi.
Tentu saja aksi dan kiprah profesional pengelolaan bantuan dan pengerahan sumbangan yang terkoordinir rapi serta sistematis tersebut mampu membangkitkan semangat kita untuk terus menyalakan semangat kebersamaan, di tengah ketidakpastian perekonomian.
Salah satunya adalah munculnya fenomena sembako gantung yang awalnya individual kemudian terus bergulir menjadi aksi-aksi komunal masyarakat se-lingkungan. Ibarat bola salju, aksi sembako gantung peduli Covid-19 terus menggelinding dan membesar menggerakkan hati para dermawan dan akhirnya menjadi warung gantung RT, kelurahan bahkan kecamatan.
Dulu sebelum wabah corona menerpa, saya sering melihat gantungan-gantungan plastik di pagar depan, yang isinya adalah sampah siap dibuang.
Kantong-kantong plastik berisi sampah tersebut sengaja digantung di depan, agar memudahkan pekerjaan tukang sampah, untuk memgambilnya ketika keliling memutari kawasan se-lingkungan.
Ternyata di awal wabah corona dan penetapan instruksi untuk "stay at home", kantong plastik yang digantungkan di pagar depan tiba-tiba muncul semakin banyak. Isi kantong-kantong plastik tersebut adalah sembako ala kadarnya yang digantung disertai tulisan "Silahkan ambil sesuai kebutuhan." Tidak perlu bertahan lama, sembako gantung itu pun segera ludes diambil oleh mereka-mereka yang membutuhkan. Ada pengemudi ojol, tukang sampah, ibu-ibu penjual kali lima, dan orang-orang tak punya lainnya yang lewat di lingkungan tersebut.