Ketika pertama kali pasien positif Covid-19 ditemukan di Indonesia, segera pemerintah DKI Jakarta menghimbau masyarakat untuk melakukan "Work From Home" atau WFH. Setelah itu anak sekolah pun dinstruksikan untuk segera melakukan "School From Home" atau SCH. Karena instruksi ini pulalah akhirnya muncul gerakan #dirumahaja.
Konon himbauan dan instruksi ini dilakukan atas pertimbangan dan alasan rasional untuk memutus jalur penyebaran virus Corona yang terjadi karena persinggungan dan sentuhan antar manusia karena interaksi dan mobilitas mereka dalam menjalankan aktivitas kerja, sekolah, usaha dan lain-lainnya.
Strategi tersebut dilakukan untuk bukan untuk menghentikan sama sekali penyebaran virus Corona yang dirasa mustahil, namun lebih dimaksudkan untuk meratakan kurva grafik kecepatan penyebaran virus Corona, sehingga pasien positif Covid-19 tidak segera melejit secara drastis, yang bisa jadi menyebabkan keadaan kritis bahkan chaos karena fasilitas medis tidak mampu menanganinya dengan baik.
Selanjutnya munculah angka karantina atau stay at home selama 14 hari. Angka 14 hari ini muncul berdasarkan alasan ilmiah kemampuan virus untuk menyerang sel dan mereplikasi diri. Seorang ahli virologi di Global Gillings University of North Carolina, Rachel Graham seperti dikutip kompas.com (6/4) lalu menyatakan bahwa "Masa inkubasi bervariasi dari virus ke virus dan kadang-kadang dari orang ke orang."
Untuk virus corona sendiri, para ahli telah menemukan masa inkubasinya sekitar 5 hari. Sementara itu kompas.com (6/4) juga menuliskan bahwa dari sekitar 97 persen orang yang terinfeksi, menunjukkan gejala sekitar 11 hingga 12 hari. Sementara 99 persen dalam 14 hari. Karena itulah Rachel Graham menjelaskan bahwa 14 hari karantina merupakan margin aman untuk memastikan seseorang tidak tengah membawa virus yang bisa menyebarkannya ke orang lain.
Berdasarkan alasan ilmiah tersebut maka angka 14 hari pun bisa diterima. Meskipun masih banyak yang tak peduli dan melanggar aturan, namun setidaknya lebih banyak masyarakat yang menerima instruksi WFH #dirumahaja selama 14 hari untuk memutus rantai penyebaran virus corona tersebut.
Namun yang jadi masalah adalah kapan kira-kira waktu 14 hari tersebut mulai dihitung dan berapa lama sebenarnya 14 hari ini berlangsung? Pasalnya sejak seruan WFH dari Gubernur DKI Jakarta yang mulai berlaku sejak 23 Maret 2020 lalu, akhir dari WFH ini tidak lagi pernah menjadi jelas kapan.
Seharusnya 14 hari dari 23 Maret 2020 akan jatuh pada 5 April 2020 lalu. Namun ternyata seruan WFH tersebut tidak berakhir di tanggal 5 April kemarin. Di tengah carut-marut ketidakjelasan kebijakan pemerintahan antara lockdown lokal, karantina lokal, darurat sipil hingga akhirnya muncul kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), akhir hari seruan #dirumahaja tersebut terus menerus direvisi dan diperpanjang lagi dan lagi.
Setelah seruan WFH digantikan oleh PSBB, Gubernur DKI Jakarta menetapkan diberlakukannya pelaksanaan PSBB yang berlaku mulai tanggal 10 April hingga 23 April 2020. Namun menjelang habisnya masa PSBB yang telah ditetapkan berakhir di tanggal 23 April 2020, pada tanggal 22 April 2020, Anies Baswedan kembali menetapkan keputusan untuk memperpanjang PSBB selama 28 hari. Jadi PSBB tersebut diperpanjang mulai 24 April 2020 sampai 22 Mei 2020.
Alasannya adalah bahwa pelaksanaan PSBB gelombang pertama 10 April - 23 April dianggap gagal meredam penyebaran virus corona karena banyak masyarakat yang tidak disiplin dan melanggar keharusan untuk berdiam diri di rumah saja.
Waduh, apakah ini yang disebut karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Karena beberapa gelintir masyarakat yang abai, tak perduli, tak mau tahu, tidak disiplin terhadap hal-hal dasar karantina mandiri, maka semua orang kena getahnya. Sekolah anak-anak menjadi amburadul, usaha menjadi terkendala serius, perusahaan merugi lebih banyak dan ancaman bahaya virus corona tak juga bisa teratasi.