Oleh: Abdul Wahab Ahmad Saya ingat tahun 90-an awal dulu kalau pergi ke pasar atau Mall di pusat kota, maka biasanya ibu-ibu yang saya lihat berjilbab hanya ibu saya sendiri atau ditambah beberapa ibu-ibu lain yang ketemu di jalan yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Demikian juga kalau lewat di sekolah-sekolah, yang terlihat berjilbab biasanya hanya siswi madrasah, itu pun kalau sedang sekolah. Di luar jam sekolahnya banyak siswi madrasah yang melepas jilbabnya. Kalau di sekolah-sekolah negeri, masih bisa dibilang langka keberadaan siswi berjilbab.
Saat itu para guru sekolah juga tak sungkan melarang siswinya berjilbab di sekolah.Sebagai manusia yang tak pernah berjilbab seumur hidup, saya tak tahu persis bagaimana tetapi sepertinya perlu nyali ekstra untuk tampil berhijab di muka umum saat itu.
Jilbab atau hijab saat itu seolah pakaian inferior, pakaian yang bikin minder, pakaian yang tak layak muncul untuk kegiatan harian. Hijab tak lebih dari sekedar kostum pengajian, tahlilan, atau saat ke masjid saja.
Kini semua sudah berbeda. Kemana pun pergi, rerata perempuan muslimah, baik muda atau tua, sudah mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Yang tipe kalem naik motor matic bahkan yang agak tomboy naik motor laki pun tak jarang berhijab. Siswi sekolah umun rerata sudah berhijab semua. Bahkan hijabers sudah tak canggung lagi untuk berliuk di catwalk dan menghiasi media.
Kalau dulu yang berhijab jadi korban bully, sekarang justru yang melepas hijabnya yang dibully. Saya tak sedang membenarkan pembullian sebab bukan ini cara yang baik dalam mengubah karakter, tetapi setidaknya dapat terlihat bahwa peta kepercayaan diri masyarakat soal hijab sudah berubah sekarang.
Awalnya, muslimah yang banyak berjilbab adalah kaum muda saja. Kaum tuanya sudah terlanjur terbiasa dengan kemeja dan rok dan sepertinya merasa agak risih berjilbab. Sekarang muslimah muda itu sudah menjadi ibu-ibu yang mendidik generasi penerusnya berhijab, apapun profesinya. Efeknya menular pada ibu-ibu yang di masa mudanya belum berhijab, sekarang nampaknya banyak sekali yang sadar untuk memakai hijab.
Perubahan ini berkat dakwah dari berbagai kalangan secara umum, baik dari kalangan kultural maupun pergerakan. Tak dapat dinafikan peran besar dakwah gerakan Tarbiyah, Salafi, Jama'ah Tabligh, HTI dan lain-lain soal ini. Semua kelompok muslim sepakat mendakwahkan bahwa pakaian islami bagi perempuan adalah pakaian yang menutup aurat, tak sekedar pakaian biasa.
Kalau bicara pakaian adat, maka yang namanya adat itu adalah kebiasaan di suatu masa tertentu. Kalau ditanya pakaian adat wania Eropa di abad pertengahan, maka jawabannya adalah pakaian yang relatif tertutup. Tapi pakaian adat wanita Eropa sekarang justru pakaian terbuka. Demikian juga pakaian adat wanita Nusantara ini juga berubah-ubah sesuai masanya.
Kalau bicara adat tatkala masa Majapahit, ya pakai kemben. Adat di masa Orla dan Orba pakai kebaya dan rok. Sedangkan adat sekarang ya pakai hijab. Ini semua adalah adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tak ada keistimewaan atau kesakralan pada pakaian adat di rentang tahun tertentu atas pakaian adat di rentang tahun yang lain.
Saya tak bicara syariat di sini, tapi bicara adat. Sungguh naif pikiran sebagian orang yang mengaku modernis di masa ini yang mengkritik fenomena hijab sebagai adat luar, bukan adat lokal. Mereka tak sadar atau tak mau sadar bahwa yang namanya adat itu selalu saling memengaruhi satu sama lain.