Hari ini Ramadhan tiba pada penghujungnya, beberapa jam lagi masyarakat muslim menjemput kemenangan setelah 30 hari kurang lebih berpuasa. Takbir akan dikumandangkan; orang-orang mulai memasang gorden baru; tercium sana-sini bau rendang, ayam kecap, sate; dan wabilkhusus di kampung saya setiap blog atau lorong kita akan menemukan kepulan-kepulan asap kalau bukan nasi bulu yang dibakar (orang sini menyebutnya nasi jaha) pasti kue dodol yang digaruk dengan menggunakan tungku masak tradisional.
Iedul Fitri mempunyai tradisi dengan solidaritas sosial yang tinggi syaratnya adalah keterlibatan banyak orang--saling bersapa bukan sekedar lisan, tapi saling berjabat tangan bahkan ada yang sambil mencium pipi kanan dan kiri biasanya dilakukan antar saudara yang sangat dekat; naik turun rumah untuk bersilaturahim tak jarang ada yang membuka tenda di depan rumah untuk tamu-tamunya yang cukup banyak dan berkerumun.
Hal-hal demikian adalah vis a vis dengan pencegahan penularan Covid-19. Karena kita sangat diharuskan untuk melakukan physical distancing untuk menghindari bahkan memutuskan mata rantai penularan pandemi Covid-19.
Ied mempunyai arti sebagai kembali atau juga merayakan, kemudian fitri mempunyai arti sebagai suci. Maksudnya adalah setelah menjalani puasa selama sebulan, tiba saatnya pada titik sublim yaitu merayakan kemenangan. Iedul Fitri ditandai ditandai simbol peribadatan tertentu seperti salat Ied, meminjam opini di arrahim.id yang ditulis oleh Zayyidan dalam bahwa salat Ied merupakan akhir perjalanan spiritual Ramadhan.
Salat Ied ini biasanya dilakukan secara berjemaah bisa dilakukan di lapangan ataupun di masjid. Saking banyaknya kerumunan jemaah maka bisa melebihi jemaah salat tarawih pada bulan Ramadhan.
Dalam menghadapi pandemi Covid 19-ini, pemerintah, MUI, Muhammadiyah dan NU telah mengeluarkan himbauan bahwa salat Ied pada lebaran tahun ini dilaksanakan di rumah masing-masing dan dilarang untuk melaksanakannya di lapangan ataupun masjid yang melibatkan kerumunan.
Wabilkhusus NU dan Muhammadiyah bahkan telah memuat di media-medianya tentang tata cara pelaksanaan salat Ied di rumah mulai dari bacaan surah hingga penyediaan teks khotbah Iedul Fitri. Larangan yang dikeluarkan pemerintah mengenai pelaksanaan salat Ied merupakan kebijakan untuk memutuskan mata rantai penularan Covid-19. Sangat dimungkinkan bahwa ketika dilaksanakan salat Ied secara berjemaah maka kasus positif Covid-19 akan semakin naik padahal semua sangat mengharapkan bahwa kasus positif di Indonesia akan segera melandai.
Meski sudah ada larangan yang telah dibijaki oleh pemerintah dan organisasi kemasyarakan Islam, masih ada fragmen-fragmen di lapangan yang tetap ngotot dan kekeh ingin melaksanakan salat Ied secara berjemaah. Di kampung saya semenjak beberapa hari lalu hingga hari ini terus beredar wacana beberapa masjid yang kekeh melaksanakan salat Ied secara berjemaah. Logika yang sering dipakai adalah “biarpun Covid-19, salat Iedul Fitri satu tahun satu kali”.
Bahkan hal demikian dipimpin oleh para tokoh agama yang ada di kampung. Mereka sebagai pemimpin agama bukan mengajak jamaahnya untuk patuh agar kita bisa keluar dari bencana kemanusiaan ini namun sikap beragama mereka sangat pongah dan sombong mengklaim bahwa pendapat mereka adalah benar.
Para pemimpin ini kemudian bukan membuat agama sebagai jalan menuju keselamatan bersama justru membuat agama ini menjadi bencana Alih-alih melaksanakan ibadah, justru akan menjerumuskan jemaahnya pada virus bajingan ini. Alih-alih merayakan kemenangan justru merayakan malapetaka.