Lihat ke Halaman Asli

rohim

Petani

Sebuah Paradoks: Harga Beras Republik Indonesia Paling Mahal di Kawasan ASEAN Tetapi Petani tetap Miskin

Diperbarui: 10 November 2024   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Petani dan Hasil Panen

Beras adalah kebutuhan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, harga beras di Indonesia tetap berada pada posisi tertinggi di ASEAN, mencapai kisaran Rp12.000 hingga Rp14.000 per kilogram (BPS, 2024). Ironisnya, meskipun harga ini tinggi, petani yang menghasilkan beras tersebut sering kali hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 sekitar 28,7% dari penduduk miskin di Indonesia adalah petani. Hal ini menimbulkan paradoks yang harus dianalisis lebih mendalam.

1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Petani Miskin 

a. Struktur Pasar yang Tidak Adil

 Pasar beras di Indonesia dikuasai oleh para tengkulak dan pedagang besar yang memiliki posisi tawar lebih kuat daripada petani. Petani sering kali dipaksa menjual gabah pada harga rendah saat musim panen karena mereka membutuhkan dana cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di sisi lain, harga beras di tingkat konsumen jauh lebih tinggi karena adanya rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien. Dengan demikian, keuntungan lebih banyak diperoleh oleh pedagang perantara daripada petani.

b. Ketergantungan pada Tengkulak dan Akses Terbatas terhadap Modal

Sebagian besar petani di Indonesia bergantung pada tengkulak untuk mendapatkan modal tanam dan sarana produksi. Ketika hasil panen tiba, mereka harus menjual gabah pada tengkulak dengan harga yang lebih rendah karena adanya hutang yang harus dilunasi. Sistem ini membuat petani terjebak dalam siklus kemiskinan, meskipun harga beras di pasaran relatif tinggi.

c. Biaya Produksi yang Tinggi dan Rendahnya Efisiensi Pertanian

Produktivitas lahan padi di Indonesia rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Thailand. Hal ini disebabkan oleh kurangnya akses terhadap teknologi pertanian modern, kualitas bibit yang tidak optimal, dan biaya input produksi yang tinggi seperti pupuk, pestisida, serta tenaga kerja. Meski harga beras di pasar tinggi, biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani juga tinggi, sehingga margin keuntungan yang diperoleh petani sangat kecil.

d. Minimnya Perlindungan Sosial dan Kebijakan Subsidi yang Tidak Tepat Sasaran.

Kebijakan perlindungan sosial bagi petani masih lemah. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah, seperti subsidi pupuk dan bantuan modal, sering kali tidak tepat sasaran atau lambat dalam pendistribusiannya. Akibatnya, banyak petani kecil yang tidak menerima manfaat yang memadai dari kebijakan tersebut, sehingga kesejahteraan mereka tidak meningkat meski harga beras naik. (Sibuea, 2016)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline