Musik klasik Eropa masuk di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda, yaitu sekitar abad ke-18. Namun, pada saat itu musik klasik hanya bisa dinikmati oleh bangsawan Belanda dan pejabat-pejabat kaya. Musik klasik juga hanya dimainkan pada saat perkumpulan para bangsawan ataupun pesta-pesta eksklusif, sehingga membuat musik klasik tidak dapat dinikmati oleh rakyat biasa.
Dari awal kemunculannya di Indonesia, musik klasik sudah mendapat stigma sebagai musik bagi para kaum elitis, bahkan hingga sekarang pun stigma tersebut masih melekat pada musik klasik. Baru sekitar abad ke-19, musik klasik mulai bisa dinikmati oleh rakyat melalui Gedung Kesenian Jakarta.
Realitas sosial mengenai musik klasik di Indonesia adalah musik tersebut dianggap sebagai musik kelas elit, mahal, serta masih menjadi minoritas. Hal tersebut juga bisa disebabkan oleh penyelenggaraan konser orkestra yang membutuhkan biaya besar dan selalu ditampilkan di tempat yang elit, sehingga membuat penontonnya menjadi terkotakkan.
Bahkan, untuk konser musik klasik dengan skala kecil yang hanya memakai piano, tetap membutuhkan tempat khusus, dimana tempat tersebut menyediakan piano, dan itu hanya ada di tempat-tempat tertentu. Berbeda dengan di luar negeri, khususnya di Barat, yang rasanya pada setiap sudut tempat terdapat sebuah piano.
Musik klasik juga sering dianggap sebagai musik serius, sehingga sedikit menimbulkan ‘ketakutan’ bagi orang awam untuk belajar mendengarkan.
Selain itu, untuk mempelajari musik klasik pun dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Banyak keperluan yang harus dipenuhi dalam proses pembelajaran musik ini, diantaranya biaya alat atau instrumen, biaya pendidikan, serta buku-buku musik yang sulit didapatkan. Tak jarang, buku-buku mengenai partitur musik klasik ataupun buku teori tentang musik klasik harus didapatkan dari luar negeri.
Teknologi yang semakin berkembang membuat segala jenis musik semakin mudah diakses, tak terkecuali musik klasik. Beberapa aplikasi seperti spotify, youtube, dan lain sebagainya membuat akses untuk mendengarkan musik klasik sama mudahnya dengan musik pop.
Namun, masyarakat masih tetap kurang berminat terhadap musik klasik dan lebih memilih untuk mendengarkan musik-musik populer. Stigma terhadap musik klasik sebagai musik yang ‘berat’ sudah tertanam pada pikiran masyarakat sehingga malas untuk mendengarkan atau sekedar mencari tahu.
Meski begitu, musik klasik yang easy listening sebenarnya sudah bisa diterima oleh masyarakat, ditambah dengan upaya-upaya dari musisi klasik untuk lebih memasyarakatkan musik klasik.
Stigma yang melekat di masyarakat tentang musik klasik sangat berkaitan dengan aspek sosiologi. Stigma sendiri memiliki arti sebuah ketidaksetujuan masyarakat terhadap sesuatu melalui beberapa proses, di antaranya proses interpretasi, pendefinisan, dan diskriminasi (Rakha F.W., Merdeka.com, 2020).
Suatu hal akan mendapat stigma negatif dari masyarakat apabila dianggap melenceng dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Contohnya, musik di era modern yang sebagian besar fungsinya adalah sebagai hiburan (HT. Silaen, 1995).