Lihat ke Halaman Asli

David Rohans R Hutagaol

I write what i think

Peran Jokowi dalam KPK vs Kebun Binatang

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14225172521457939057

Ketika seluruh pihak mengumandangkan tentang komitmen memberantas korupsi di negeri ini, disitu pula lah mereka langsung mengingkari pernyataan yang mereka ucapkan. Saling lempar bola panas pun seakan menjadi kebiasaan para politisi dan pejabat kita jika dikaitkan dengan kepentingan mereka yang terganggu. Mereka melemparkan argumen tentang kebenaran yang terjadi di lapangan, namun sebenarnya mereka tidak berbicara tentang kebenaran, mereka hanya berbicara/membuat argumen dari sisi mereka yang merasa terganggu ataupun dirugikan. Tindakan mereka digerakkan oleh kepentingan, baik kepentingan akan pribadi, partai dan ada juga yang tidak segan segan ingin menjadi sukarelawan untuk menjilat ketua umumnya (kepentingan jabatan struktural di partai). Ketika politik dijadikan sebagai alat pemuas, maka kita harus menerima sikap partai politik dan para politisi kita yang bersikap kekanak-kanakan.

Ketika KPK menjalankan misinya dalam memberantas korupsi, banyak pihak merasa berkepentingan untuk menjegal langkah KPK. Kita lihat saja setelah KPK menetapkan status tersangka pada BG, apa yang terjadi? Komisioner KPK dalam kurun waktu 2 minggu, semua dipidanakan. Ada yang sudah jadi tersangka, ada yang sudah dilaporkan dan ada yang mau dilaporkan. Lalu pihak manakah yang berdiri tegak menemani KPK dalam kisruh ini? Dimanakah mereka yang mengumandangkan komitmen memberantas korupsi? Yap, tidak ada. Hanya masyarakat dan para aktivis yang setia menemani KPK dan mendukung penuh KPK dalam menjalankan tugasnya. Lalu, peran pemerintah dimana? Presiden? Partai politik? Ya, mereka tidak hadir dalam memberikan dukungan pada KPK. Setelah Presiden berpidato tong kosong yang tidak ada maknanya mengenai perselisihan KPK dan POLRI, maka tiba-tiba seluruh binatang seakan mendapatkan momentum yang pas untuk membumihanguskan KPK dari negeri ini. Saya tidak setuju dengan sebutan “cicak vs buaya jilid 3”, setelah jilid 1 nya menyangkut Pak Bibit dan Chandra, jilid 2 nya menyangkut Pak Novel Baswedan. Saya tidak setuju dengan sebutan “cicak vs buaya” pada kasus ini, karena kasus ini sangat jauh berbeda dengan 2 kasus sebelumnya. Pada kasus ini, kelihatan sekali semua orang yang berkepentingan menunjukkan kulit aslinya dan ingin sesegera mungkin membubarkan KPK. Ya, ini bukan cicak vs buaya. Tapi lebih ke cicak vs kebun binatang. Karena seluruh binatang ingin mengebiri cicak. Mereka adalah buaya, banteng, beruang, serigala dan sapi. Cicak adalah binatang kecil, tapi sayangnya untuk membunuh cicak, binatang buas lainnya harus bersatu padu dahulu untuk menumpas cicak dari muka bumi ini. Apakah binatang-binatang buas ini tergolong binatang yang tolol semua sehingga memerlukan campur tangan binatang lain dalam menumpas binatang kecil seperti cicak? Ya, mereka memang tolol, hanya sekumpulan binatang yang mengandalkan besarnya bobot tubuhnya tanpa menggunakan otak dalam menghadapi sesuatu.

Mari kita lihat alur kejadian konflik ini. Presiden mengajukan nama calon Kapolri, yang sayangnya pada kesempatan itu Jokowi tidak melibatkan KPK dan PPATK seperti yang dilakukan Beliau pada saat menyeleksi Menterinya. Adanya dugaan rekam jejak yang buruk menyangkut finansial, publik pun menyangsikan nama yang diajukan Jokowi. Dengan tidak melibatkan KPK dan PPATK, maka ada kejanggalan dalam pemilihan nama calon ini. Dan hal inilah yang menimbulkan ICW bersuara dengan lantang yang meragukan komitmen Jokowi dalam menciptakan pemerintahan yang bersih. Tidak lama setelah ICW bersuara, KPK menetapkan status BG (calon yang diajukan Jokowi) menjadi tersangka. Dan hal inilah awal mulanya sehingga kasus ini tidak terselesaikan hingga hari ini dan semakin merembet kemana – mana.

MARI KITA ANALISA!

Banyak orang yang menyebutkan penetapan status BG sebagai tersangka sarat dengan muatan politis. Karena kasus lama yang diungkit kembali menjelang dirinya akan dilantik atau dijadikan sebagai kepala penegakan hukum negara ini. Lalu, saya ingin bertanya, politisnya dimananya? Penetapan BG sebagai tersangka, momentumnya sudah sangat pas. Kenapa? Karena ini berhubungan dengan komitmen Jokowi yang ingin menjadikan pemerintahannya bersih! Ya, KPK mau tidak mau, harus berinisiatif dengan calon – calon yang akan menduduki kursi eksekutif termasuk juga yudikatif. Sehingga, dengan penelusuran lebih lanjut yang dilakukan KPK, diharapkan pemerintahan yang dibangun Jokowi menjadi pemerintahan yang bersih. Sehubungan dengan kasus BG yang sudah lama, orang cenderung mengatakan “kenapa gak dari dulu aja ditahan kalo memang gak ada kepentingan? Ini kok menjelang jadi Kapolri baru dipermasalahkan?” Begini, melawan institusi besar seperti polri tidak mudah. Terlebih pasokan penyidik yang dimiliki KPK juga dari polri. Dalam arti, dalam keadaan yang damai dan tidak ada momen penting, sulit untuk mengacak-acak polri. Sulit, bukan berarti tidak bisa. Jadi, momen penting seperti calon kapolri sangat penting dioptimalkan, sehingga memiliki alasan yang kuat dalam menjerat pelaku, disamping alat bukti yang kuat. Lagian juga, yang dipermasalahkan harusnya bukan KPK, tapi pemerintah! Kenapa mengajukan nama yang ngelantur? Lalu, setelah ditetapkan menjadi tersangka, kenapa banteng, dkk masih ngotot bahwa nama itu harus dilantik? Ada apa sebenarnya? Kenapa sebegitu ngototnya? Hal ini yang masih belum terjawab!

Setelah penetapan tersangka, DPR melakukan fit and proper test pada seorang tersangka. Saya juga gak tau dimana fit and propernya seorang tersangka. Tp, walaupun begitu DPR yg memang IQ nya masih dipertanyakan, meloloskan tersangka utk segera dilantik. Kalo DPR gak usah heran, mereka ngerti aja apa yang mereka omongkan dan yang mereka tanyakan aja udah syukur. Hahaha. Mereka itu banyakan berbicara tapi gak ngerti apa yang dibicarakan. Ya walaupun gak semua sih. Selepas DPR seluruhnya menyetujui, bola panas pun dilempar ke Jokowi. Tumben ya DPR bersatu soal yang satu ini? Iya, mereka bersatu mendukung tapi berbeda kepentingan. Kalo banteng, dkk ya wajar, calonnya memang dari mereka. Tapi kalo sapi,dkk tujuannya untuk melempar bola panas ke Jokowi yang dalam arti Jokowi citranya akan jatuh jika melantik seorang tersangka. Permainan politik yang cukup lihai dari sapi,dkk. Setelah penyetujuan, maka semua tinggal di Jokowi. Jokowi bakal melantik atau tidak, atau Jokowi akan menarik nama yang diajukan, lalu mengajukan nama lain untuk dipilih kembali oleh DPR. Saya menunggu pidato Beliau dan berharap Beliau mengajukan nama lain! Dan ternyata, Jokowi tetap mempertahankan nama yang diajukan. Beliau berpidato “Ini hanya menunda, bukan membatalkan! Tolong digarisbawahi!”. Yang terlintas di pikiran saya adalah, sebegitunya Jokowi ingin mengakomodir atraksi politik “The Big Mom” atau bahasa kasarnya “si gendut”. Kelihatan sekali Beliau terlalu tunduk dan tidak berani membantah apa yang diperintahkan oleh The Big Mom. Sistem serba sulit dan absurd tercipta. Mari kita analisa. Yang absurd adalah Jokowi tidak mengajukan nama lain sebagai Kapolri. Sistem Negara ini adalah Presidensial bukan parlementer, sehingga Beliau memiliki hak untuk mengajukan nama lain sebagai Kapolri sehubungan dengan nama yang diajukan menjadi tersangka. Tp Beliau tidak menggunakan haknya dan lebih memilih tunduk dengan The Big Mom. Sistem yang serba sulit adalah jika Jokowi membantah The Big Mom, maka kebijakan strategis yang dibuat Beliau sebagai Presiden akan terganjal di parlemen/legislatif. Mengingat bahwa koalisi merah putih secara otomatis bersebrangan dengan beliau, sedangkan koalisi yang mendukung Jokowi masih dikomandani oleh The Big Mom. Jadi, jika Jokowi melawan, maka koalisi pengusung Jokowi juga akan menolak kebijakan strategis yang ingin diambil Jokowi. Maka legislatif menjadi penjegal utama Presiden dalam membangun negara ini.

Nah, yang membuat saya heran, kenapa Jokowi tunduk sekali dengan The Big Mom? Harusnya Jokowi bisa melakukan komunikasi politik atau setidaknya menegaskan bahwa “I’m the PRESIDENT!!”. Karena yang terjadi sekarang adalah, secara fisik Jokowi yang jadi Presiden, secara instrumen politik ya The Big Mom yang jadi Presiden. Jokowi seperti tidak menyadari bahwa rakyat memilihnya menjadi Presiden (pemimpin) bukan menjadi pesuruh (orang yang disuruh suruh)! Dan yang tidak disadari oleh Jokowi adalah, bahwa jika Jokowi dimungkinkan oleh undang-undang maju sebagai calon independen, saya yakin bahwa Jokowi tetap menang dalam pertempuran menuju RI-1. Yang iyanya kejadian sekarang adalah banteng merasa bahwa mereka lah yang membuat Jokowi jadi Presiden. Nah lo??? Kalo memang mereka jago, suruh aja noh Bu Mega maju sbg capres di tahun 2014 kmrn. SAYA YAKIN MEREKA TIDAK AKAN MENANG! Lalu, dengan raihan 20% yang didapat mereka pada tahun 2014, mereka TIDAK AKAN mendapat suara sesignifikan itu jika mereka tidak mengajukan Jokowi. Paling juga mentok mentok di 10-14%! Masyarakat juga coblos banteng, dengan tujuan supaya Jokowi jadi Presiden dan supaya dengan suara yang tinggi diharapkan jumlah koalisinya akan sedikit. Karena dengan koalisi gemuk, akan menyulitkan pembangunan pemerintahan yang bersih karena banyaknya kepentingan. Maka dengan suara yg tinggi, diharapkan Jokowi akan membangun koalisi yang ramping. Bahkan harapan rakyat dulu, bahwa mencoblos banteng agar bisa mencapai suara di kisaran 25-30% sehingga banteng bs langsung mengajukan calon tunggal. Itulah harapan rakyat di tahun 2014, mencoblos karena keinginan yang kuat dari rakyat utk melihat negara ini bisa berubah dan rasanya Jokowi org yang tepat di masa sekarang urk membenahi negara ini. Kalo gak ada Jokowi, saya juga ogah nyoblos! Dan yang menggelikan, kejadian penetapan status tersangka pada calon yang mereka ajukan, membuat banteng meradang dan ingin menanduk cicak, knp sesongong ini mereka ya? Perilaku banteng ya begini. Ramah saat mereka kalah, dan songong saat mereka menang. Naluri banteng memang energik dan emosian. Dan perilaku banteng cenderung lebih menuruti emosi, sehingga sering melakukan hal – hal bodoh seperti menanduk apapun yang berada di hadapannya.

Dari setiap pertempuran, kadang ada aja orang yang dikorbankan. Dalam setiap amarah banteng, selalu aja ada korban. Dulu pada masa Pak SBY, ada orang batak yang selalu pasang badan buat SBY dan sering dikorbankan ibaratnya. Dan masa sekarang, ada juga orang yang dikorbankan. Dia lah yang mengatai Abraham Samad bermain politik. Abraham Samad menemui politisi dengan menggunakan topi dan masker krn keinginan Samad menjadi Wapres. Dugaan yang kebenarannya masih harus dibuktikan, membuat partai ini kurang elegan dalam berpolitik. Saya rasa Demokrat jauh lebih elegan dalam berpolitik dalam mengatasi masalah saat 3 kadernya dijebloskan kedalam penjara. Partai ini seperti terlalu vulgar menampakkan diri sedang emosi karena calonnya terancam batal krn KPK telah menetapkan status tersangka. Yang kasian adalah orang yang dikorbankan yang disuruh berbicara di depan publik. Kok mau-maunya ya pasang badan?

Setelah berpidato, Jokowi mengungkapkan menunggu proses hukum dari BG dan tetap mencalonkan dia sbg Kapolri. Lalu, Jokowi mengangkat PLT Kapolri. Dan disinilah yang membuat saya kesal, kesan memaksakan nama calon ini yang membuat banyak orang meradang. Sungguh memalukan menurut saya jika institusi besar penegakan hukum harus dipimpin seorang PLT. Seakan tidak ada lagi orang lain yang mampu jadi kapolri selain BG. Dan seraya mencoba memahami maksud Jokowi, keesokan harinya saya melihat berita bahwa ada 2 partai yang berkata “Lantik aja dulu! Urusan hukum belakangan”, “Lantik aja dulu, walaupun cuma 1 hari BG jd Kapolri”. Ini ada apa? Kok ngotot banget ya? Ada apa sebenarnya dibalik pencalonan ini?

Lagian Jokowi jg kelihatan sekali di bawah tekanan. Masa iya seorang Presiden percaya sama kompolnas soal rekening BG yang katanya tidak ada aliran transaksi mencurigakan. Emangnya kompolnas punya akses untuk liat rekening dari bank bersangkutan? Emg bareskrim punya akses juga? NGGAK BRO! Yang punya akses itu cuma PPATK! Selain PPATK, rekening hanya bisa dilihat melalui persetujuan Gubernur Bank Indonesia yang saat ini dijabat oleh Pak Agus Marto. Trus, ngapain juga Jokowi maksain calonnya harus jadi Kapolri? Krn tekanan The Big Mom? Pesanan politik tidak harus dijalankan. Disini sisi leadership harus ditampilkan! Harusnya Jokowi memunculkan 1 nama lagi utk diajukan jadi Kapolri dan mencabut nama BG. BG juga bakal kesulitan utk lolos dari jeratan hukum. Yang pertama, berapa persen lah probabilitasnya orang yang ditetapkan KPK jadi tersangka, tiba – tiba melenggang bebas pada akhirnya krn kurangnya alat bukti, dll? Yang kedua, dari aset yang dimiliki, coba aja kalkulasikan gaji bersih/tahun kurangi biaya operasional dan dikurangi biaya gaya hidup, apakah mampu mendapatkan aset seperti itu? Yang ketiga, emangnya hakin tipikor bakal percaya duit 57M itu pinjaman ke anak BG yang usianya pada saat menerima masih 19 tahun? Syarat pinjaman itu kan minimal usia diatas 21 tahun (>21 tahun) dan minimal sudah menikah. Emg hakim tipikor bakal percaya???

Tidak lama setelah itu, Komisioner KPK yaitu Pak Bambang Widjojanto ditangkap di Depok dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Beliau diduga mengarahkan 68 saksi untuk memberikan keterangan palsu. Sungguh ambigu penangkapan ini. Seperti ingin memberikan balasan. Kasus yang janggal ini akhirnya direspon cepat oleh masyarakat, aktivis, akademisi dan orang penting negeri ini yang segera menduduki KPK yang menunjukkan dukungan penuh mereka pada KPK, terutama pada Pak Bambang yang sedang tersangkut kasus. Save KPK pun menjadi trending topic world wide. Lalu kita semua mengharapkan ada tindakan nyata dari Presiden atau setidaknya bisa meniru pendahulunya Pak SBY yang bisa lumayan tegas walaupun lamban dalam mengatasi cicak vs buaya. Dan akhirnya Jokowi keluar dan siap memberikan pidato. Jokowi mengatakan “stop kriminalisasi terhadap polri dan stop kriminalisasi terhadap kpk. Jangan ada yang merasa berada diatas di depan hukum”. Pidato tong kosong ini kembali dikemukakan Jokowi. Pidato tanpa isi yang jelas dan cenderung seperti sedang mendongeng. Tidak adanya intervensi dari Jokowi untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK ini membuktikan Jokowi terlalu tunduk kpd The Big Mom sehingga nalarnya sudah tidak jalan lagi. Mungkin sebelum berpidato The Big Mom berpesan ke Jokowi “Nak Jokowi, kamu tuh ya ndak usah sok jadi pahlawan kesiangan. Ndak usah bela-bela KPK. Kamu itu masih anak ingusan. Sini-sini cium tangan dan jempol kaki Oma”. Hahaha. Dan kata “tidak ada yang boleh merasa lebih”, ini seperti cenderung ingin mengkritik KPK sbg lembaga superbody. Ya, KPK sih menurut saya harus tetap superbody karena kejahatan korupsi yang mereka hadapi sudah extraordinary! Jika tidak superpower, bagaimana menjerat pelaku korupsi kelas kakap? Jangan terjerat dengan kalimat politisi sapi kalo KPK kewenangannya harus dikurangi dan supaya KPK bertindak diarah pencegahan. Wong yang korupsi banyaknya bukan main, kok tindakan preventif yang harus diutamakan? Pencegahan dilakukan saat orang yang korupsi sudah sedikit, baru sistem dibentuk. Selama pelaku masih banyak, ya sistemnya ya memang harus main tangkap!

Dan penangkapan BW ini sendiri mengundang tawa sekaligus kesal dalam diri saya. Begini, apa dikira partai banteng ini dengan ditangkapnya BW, maka KPK akan hancur? Pola berpikir partai banteng sudah kebiasaan bahwa 1 institusi dikontrol oleh 1 orang. Jadi, mereka pikir KPK cuma dikontrol oleh BW ataupun AS. Mereka gak sadar pengambilan keputusan di KPK itu kolektif-kolegial. Ga ada instrumen komando dari satu atasan. Makanya, sekali-kali ketua umumnya diganti dong biar ada regenerasi biar gak kolot terus mikirnya. Hahahaha. Krn udah kebiasaan dipimpin satu orang selama bertahun-tahun, jadinya mereka pikir semua institusi sama seperti partai mereka.

Jokowi yang tidak tegas dan tidak mau mengganti nama calon, membuat sejumlah masyarakat termasuk saya meradang dan kecewa dengan tindakan Beliau. Kalau Jokowi tidak memperdulikan KPK, kenapa dulu pada saat KPK memberikan stabilo merah dan kuning pada calon menteri, Jokowi langsung bereaksi dengan menghapus mereka? Kenapa tidak diangkat aja itu para ketua umum yang sudah kena stabilo merah dan kuning untuk jadi menteri kemarin? Kenapa sikap Beliau menanggapi calon menteri sangat kontradiksi dalam menanggapi calon Kapolri? Kenapa? Memang kalo menyangkut pesanan politik, sudah susah.

Karena ketidaktegasan Jokowi inilah yang memancing gerombolan binatang lain seperti mendapat momentum yang pas dalam menjatuhkan KPK dan ingin memberangus KPK. Satu per satu komisioner KPK dipidanakan. Setelah Bambang Widjojanto menjadi tersangka, sekarang komisioner lain silih berganti dilaporkan. Adnan Pandu Praja sudah dilaporkan,lalu Zulkarnaen dan Abraham Samad masuk ke dalam daftar akan segera dilaporkan mengenai kasus masing – masing. KPK terancam tanpa pimpinan. Memang banyak binatang yang tidak berpikir tapi ada juga manusia yang bertindak seperti binatang. Sehingga ini seperti saatnya untuk menjinakkan cicak atau bila perlu momen yang pas untuk membumihanguskan cicak. Tentunya buaya banteng beruang dan serigala sangat menyukai ide ini.

Yang perlu diketahui adalah ini merupakan taktik dari mereka yang bermain kotor. Karena KPK yang sekarang dipimpin oleh 4 komisioner (minus Pak Busyro Muqodas), sudah menjadi 3 komisioner setelah Bambang Widjojanto mengundurkan diri setelah dirinya ditetapkan menjadi tersangka. Otomatis, jika 1 komisioner lagi menjadi tersangka, maka otomatis komisioner hanya tersisa 2. Sehingga keputusan kolektif-kolegial tidak bisa diambil. Apakah ini jalan agar calonnya banteng dilenggangkan jalannya? Kalaupun tidak, tapi setidaknya dengan menjadi tersangkanya BW, memberikan sinyal pada cicak bahwa jangan main-main pada buaya dan banteng!

Memang banteng ini kurang tau diri sih menurut saya. Harusnya berterima kasih pada Jokowi karena telah meningkatkan perolehan suara mereka. Sikap kekanak kanakan mereka yang terbawa dalam kehidupan berpolitik sangat membuat kita miris. Haus akan kekuasaan, sehingga politik dijadikan sebagai alat pemuas. Ya, kita bisa lihat sebagai contoh sikap kekanak-kanakan. Pemberian bantuan dana desa, menjadi rebutan kementerian. Seperti anak kecil rebutan permen. Kemaruk akan dana dan kemaruk kekuasaan. Sehingga Mendagri yang dari banteng, berusaha keras bahwa dana desa harus dari kementeriannya. Tindakan kekanak-kanakan juga ditunjukkan melalui kontradiksi ucapan dengan tindakan dalam komitmen memberantas korupsi. Ada ungkapan dari seorang kader “ya ndak mungkin lah Bu Mega berencana membubarkan KPK, wong di zaman Bu Mega KPK terbentuk”. Ya kalimat ini juga ambigu. Ya bisa saja karena dia yang bentuk, jadi tidak boleh macam – macam dengan beliau. Ya bisa aja dalam hati ada yang bilang “Saya yang bentuk lembaga ente, jadi ente jangan main main sama ane. Ente juga bisa makan/kerja karena ane jg. Krn ane bentuk nih lembaga”.

Dan kemarin, 28 Januari 2015, Wantimpres sudah memberikan 5 poin kepada Jokowi dalam permasalahan KPK vs POLRI. Yang menarik dilihat adalah, apakah Jokowi menjalankan 5 poin tersebut? Atau masih tunduk dengan The Big Mom,dkk supaya KPK jangan menjadi lembaga superbody sehingga perlu dilemahkan? Jika Jokowi tidak menjalankan 5 poin tersebut, maka Jokowi selamanya dibawah bayang-banyang The Big Mom dan cenderung kita semua meragukan komitmen Beliau dalam memberantas korupsi.

Seharusnya KPK itu didukung penuh dalam memberantas korupsi dan kita harapkan adanya ketegasan dari seorang Presiden dalam memandang suatu masalah. Jadi Presiden itu tidak boleh terlalu tunduk pada ketua umum. Kita perlu meniru pemberantasan korupsi yang dilakukan di hongkong. Sedikit bercerita, Sebelum tahun 1977 Korupsi Di Hongkong adalah termasuk terparah di dunia. Saking parahnya, sampai-sampai supir ambulan pun tak mau antar pasien sekarat, jika belum mendapat Uang Ngeteh terlebih dahulu. Saking kronisnya Korupsi di Hongkong, 99,9% anggota polisi dan Jaksa terlibat dengan Mafia dan tindak Kriminal.. Akhirnya pemerintah negara itu pada tahun 1974 melakukan langkah berani yaitu semua polisi dan jaksa di negara pulau itu dipecat tanpa kecuali. Pemberantasan korupsi di Hongkong puncaknya terjadi tahun 1973. Sebelumnya, usaha pemberantasan korupsi ini sudah dilakukan beberapa kali, namun selalu gagal. Dan sudah banyak korban pula yang berjatuhan. Nyaris tak ada polisi, jaksa dan hakim baik dan jujur, panjang umurnya di hongkong jika berani melawan korupsi. Benar-benar seperti cerita perang antar mafia di film-film Hongkong, saling tembak dan saling bunuh di jalanan. Bagaimana bandit-bandit di Hongkong kala itu bersekongkol dengan polisi menguasai dan berbagi wilayah operasinya, untuk pelacuran, perjudian dan narkotika. Bahkan merrampok bank dengan senjata dan personil kepolisian juga sudah biasa terjadi. Luar biasa memang. Usaha yang berhasil dalam soal pemberantasan korupsi di Hongkong pada awalnya digagas oleh seorang polisi baik, yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah kolonial Inggris, yang ketika itu tentu saja pusing tujuh keliling menghadapi jaringan kerja sama antara koruptor dan mafia kuning. Bisa berhasil diatasi, tentunya faktor yang cukup menentukan adalah Gubernur koloni Inggris di Hongkong ketika itu, Sir Murray Mac Lehose (1971-1982) termasuk seorang pemimpin Hongkong yang keras dan berani ambil tindakan tegas. Dan jelas dia tidak terlibat dalam persekongkolan mafia yang terjadi. Tak lama setelah ditunjuk sebagai Gubernur, dia mencanangkan dua tahun masa jabatannya adalah bertempur dengan korupsi ! Dan itu tidak sekedar dia pidatokan. Dia langsung bertindak ! Yang berbeda drastis dengan para pemimpin yang hanya menjadikan ungkapan ini sekedar retorika agar meningkatkan elektabilitas. Kemudian tahun 1974 Gubernur Mac Lehose membentuk ICAC (Independent Commission Against Corruption) yaitu lembaga semacam KPK yang ada di Indonesia. Hasilnya, masyarakat Hongkong mulai teratur dengan tegaknya hukum, menjadi satu masyarakat yang hidup didalam jalur ketentuan hukum yang ada. Orang bilang sejak itulah Hongkong ekonominya maju pesat. Begitulah majunya Hongkong dan komitmen penuh pemimpinnya dalam memberantas korupsi. Bahkan hingga melayangnya banyak nyawa untuk membuat negeri itu bersih. Sedangkan Indonesia, yang masih ditempuh secara hukum, sering KPK dipreteli kewenangannya.

Kapan ya kita bisa melihat negara ini bersih? Ketika KPK didukung penuh, Presiden berkomitmen, Polisi dan Kejaksaan bersih, lalu mereka bahu membahu membersihkan negeri ini? Kapan ya? Kalo Presidennya seperti sekarang masih terlalu tunduk sama arahan The Big Mom, ya mana mungkin bisa! Tp saya menantikan hal ini terealisasi suatu hari nanti. Ya, suatu hari nanti.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline