Lihat ke Halaman Asli

Jadi Presiden Perlu Merancang Konsep Mitigasi Bencana Alam dan Hutan dalam Mencegah Banjir

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="" align="aligncenter" width="275" caption="Mitigasi Bencana Sebagai Tindakan Preventif (Ilustrasi/Antaranews)"][/caption]

Musim penghujan biasanya dimulai pada awal bulan Oktober, namun terlebih dahulu diawali dengan musim pancaroba yaitu jeda peralihan antara musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim penghujan inilah turunnya hujan sangat ditakuti karena bencana banjir sudah mengintai didepan mata jika tidak diantisipasi.

Banjir pasti terjadi, sejak jaman gubernur batavia (Sebutan Jakarta Tempoe Doeloe) dari negeri belanda bernama Jan Pieterszoon Coen ketika memimpin Jakarta memang sudah kewalahan menghadapi banjir. Mengapa Jakarta rentan banjir? Hal itu terutama karena berdasarkan bentuk wilayah dan tata letaknya memang Jakarta merupakan wilayah cekungan-cekungan dan dataran yang lebih rendah dengan diperparah rusaknya hutan di hulu dan drainase DKI yang buruk sehingga mengakibatkan air menumpuk mengakibatkan banjir tahunan.

Banjir memang sudah menjadi permasalahan klasik di Ibu Kota dan sekitarnya, bahkan banjir kini telah merambat keberbagai wilayah di Nusantara yang letak geografisnya lebih rendah dan yang mengalami kerusakan hutan alam. Selain masalah letak geografis, penyebab banjir memang akibat buruknya drainase, tata ruang yang menyalahi aturan, serta saluran pembuangan seperti, situ, sungai dan parit yang mampet akibat endapan Lumpur.

Ulah manusia yang membuang sampah dan merusak hutan juga menjadi faktor pemicu banjir, bahkan perilaku warga jakarta yang tidak disiplin dan bertindak sesukanya sehingga sungai jadi tempat sampah gratisan. Sungai dan situ tidak lagi dapat menampung volume air hujan yang turun, akibatnya air hanya menumpuk dan akhirnya meluap sehingga terjadilah bencana banjir bandang seperti di Jakarta, Manado dan daerah lainnya.

Selain itu ada juga faktor global warming dan semakin banyaknya gedung-gedung tinggi berpondasi pasak bumi menjadi pemicu rusaknya kepadatan tanah sehingga air tidak tertampung lama dan terus meluber akibat sifat gerakan air yang mengalir dari tempat tinggi ketempat rendah. Hal ini diperparah lagi karena rencana jangka panjang Pemprov DKI dari dulu juga tidak jelas, maka wajar jika Jokowi menanyakan kalau gubernur sebelumnya kerja apa? Sebab dengan banyaknya orang pintar di Jakarta masakan sejak 20 tahun lalu tak ada solusi banjir dan malah bertambah parah.

Perencanaan jangka panjang dalam mitigasi bencana itu penting dan disinilah tugas Presiden sebagai pemimpin, sebab harus dipahami bahwa Indonesia memang rawan bencana dan tidak mungkin menghindari bencana yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu perlu prosedur Mitigasi bencana yang real dan dipahami secara menyeluruh (baca:holistik) oleh penduduk Indonesia.

Rusaknya hutan juga seharusnya dapat direstorasi. Sebab kerusakan hutan tentu menyebabkan banjir kiriman dari daerah pegunungan yang ada di hulu, sehingga terjadilah banjir didaerah yang relatif lebih rendah (baca: hilir) seperti Jakarta dan sekitarnya. Akibatnya banjir diawal tahun kini semakin meluas dan memakan banyak korban, tidak hanya korban nyawa tetapi juga kerugian materi yang diperkirakan mencapai hingga 7 Triliun rupiah.

Namun terlepas dari semua itu, kita harus terima karena pada dasarnya memang manusialah yang secara langsung maupun tidak langsung telah menjadi perusak dibumi ini. Banjir kini merupakan tamu yang datang rutin ketika intensitas hujan meninggi di hulu maupun di hilir. Tetapi yang penting adalah solusi konkrit yang pro-rakyat dalam mengatasi bencana. Kita seharusnya patut belajar dari bencana Gempa dan Tsunami yang melanda Aceh dan Nias ditahun 2004. namun Indonesia memang seolah tidak pernah belajar sehingga para korban bencana yang terjadi hari ini seperti Banjir bandang dan letusan gunung berapi Sinabung serba tidak jelas.

Penulis ingin memberi solusi, kenapa kita tidak belajar dari negara Belanda dan Venisia di Italia? Belanda sanggup mempertahankan wilayahnya yang secara geografis begitu rendah. Bahkan Italia mampu mewujudkan kota Venisi sebagai wisata air yang terkenal padahal wilayahnya begitu rencah. Selain itu koordinasi Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) seharusnya memiliki prosedur Mitigasi Bencana secara holistik. Apalagi jika didukung oleh informasi dari BMKG sehingga perencanaan penanganan bencana dapat sirumuskan dan diatasi secepat mungkin.

Penulis juga menyarankan, agar segenap masyarakat korban banjir diharapkan kesadarannya agar jangan lagi membuang sampah sembarangan, sembari pemerintah terus berupaya mengatasi banjir. Usaha-usaha tersebut sangat diperlukan agar lingkungan yang telah rusak cepat pulih dan bencana dapat dikurangi sebab kawasan ekologi genting (hutan alam) sangat penting sebagai areal resapan air pencegah banjir, penyimbang hidrologis, dan penyeimbang habitat dari keragaman hayati yang ada.

Pada akhirnya, tanpa adanya tindakan dan kinerja konkrit dari Pemerintah, terkhusnya Pemerintah pusat sebagai kunci utama bersama pemerintah DKI dan seJabotabek, maka bencana banjir ini akan terus menghantui dan terus datang setiap awal Januari bahkan mungkin beberapa decade kedepan Jakarta dan sekitarnya akan tenggelam akibat banjir Rob dan derasnya hujan.

Oleh karena itu perlu seorang Presiden perlu hendaknya memiliki konsep jelas, canggih dan modern mengenai perencanaan agenda Mitigasi sebagai tindakan Preventif untuk tanggap terhadap bencana, apalagi tidak hanya bencana banjir Jabodetabek, namun banjir bandang Manado, bencana Sinabung serta bencana lainnya memerlukan kesigapan dari Pemerintah Pusat dan Pemda setempat. Selain itu Pemerintah harus terlebih dahulu segera merealisasikan kebijakan melalui restorasi kawasan hutan alam di hulu yang mengalami kerusakan. Terima Kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline