Lihat ke Halaman Asli

Diary Dinda Untuk Ayah

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

AYAH ….

Dengarkanlah…

Aku..ingin berjumpa…

Walau…hanya dalam mimpi…

-Peterpan Feat Candil “Ayah”-

Lagu itu terngiang terus hingga tak terasa air mata Dinda tak kuasa untuk terurai. Lagu itu hanyalah teman dalam sepinya ketika Dinda kecil merindukan sang Ayah. Merindukan kasih sayang seorang ayah yang telah 15 tahun ini tak pernah dirasakannya.

Dinda kecil hanya mengingat sosok ayahnya dari memori masa kecilnya. Mengingat waktu-waktu bersama ayahnya yang masih bisa memanjakannya. Mengingat ketika ayahnya masih memeluknya ketika ia menangis. Dan hanya itu yang menjadi memori untuk mengobati rasa rindu terhadap ayah tercintanya.

Walaupun sekarang Dinda masih mempunyai seorang Ibu, namun kebersamaan dengan ibunya tak bisa menggantikan sosok ayahnya yang selalu hadir dalam setiap mimpinya. Dinda hanya dekat dengan ayahnya. Ibunya terlalu sibuk dengan memikirkan kakaknya yang kini beranjak dewasa. Dinda tumbuh besar hanya dari angan-angannya yang terus mengingat kedekatan dan kebersamaannya ketika bersama ayahnya.

Dinda seakan berjuang sendiri dengan menghadirkan sosok ayahnya dalam setiap imajinasinya. Imajinasi bahwa ayahnya masih bisa membimbingnya hingga ia selalu berangan-angan bahwa ayahnya masih hidup. Kesendirian dalam batin Dinda tak pernah ia ungkap pada siapapun. Hanya sebuah diary lusuh dan sebuah foto usang yang ada di dalamnya yang menggambarkan kebersamaan Dinda kecil bersama ayahnya. Dan Dinda selalu mengakhirkan cerita dalam diarynya “Aku tau Ayah akan membimbingku dari Surga, mengawasi dan memelukku ketika aku tidur

Tidak ada yang mengetahui bahwa selama ini Dinda mengalami keterbatasan yang membuatnya sangat berbeda denga kakaknya. Dinda telah terbiasa disalahkan, dimarahi dan selalu di nomor duakan dari kakaknya. Ituah yang membuatnya tak pernah dekat dengan Ibunya. Ibunya hanya memperhatikan kakaknya yang selalu jadi prioritas utama. Karena alas an inilah ia hanya sanggup untuk mengingat Ayahnya yang selalu hadir dalam imajinasinya untuk menemaninya walau hanya dalam imajinasi Dinda saat ini.

Suatu ketika Dinda harus dilarikan ke Rumah Sakit karena Dinda sudah tidak tahan dengan penderitaannya selama ini. Dinda mengalami tekanan batin yang tak pernah dia ceritakan kepada siapapun selain kepada diary lusuhnya. Tak disangka, ternyata berbagai tekanan yang dihadapi dinda dan yang selama ini ia pendam berakibat buruk pada kondisi kesehatannya. Ibunya shock ketika mendengar Dinda tiba-tiba dilarikan ke RUmah Sakit oleh gurunya. Ibunya bagai tertampar ketika mengetahui di dalam tas Dinda ia menemukan Diary lusuh yang selalu dibawa Dinda kemana pun ia pergi.

Baru dari situlah Ibunya menyadari bahwa Dinda memiliki keterbatasan yang selalu ia salahkan kepada Dinda. Dan tragisnya di akhir diary Dinda ia sempat menuliskan. Ibunya histeris ketika mengetahui bahwa hampir seluruh isi Diary Dinda ditujukan pada Ayahnya, tulisan Dinda yang morat marit membuat Ibunya semakin bersalah dan hatinya pilu melihatnya.

Di akhir catatan kecil Dinda ia menulis :

“Ayah…ini sudah waktunya aku bertemu Ayah…aku ingin bertemu dengan membawa sejuta kerinduan dalam hatiku yang tak ada orang lain yang tau kecuali Ayah….”

Ibunya pun histeris ketika selesai membaca itu, dokter mengabarkan bahwa Dinda sudah kembali pada Sang Khaliq.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline