Akhir-akhir ini banyak beredar isu pembakaran bendera yang dilakukan oleh tiga orang pelaku yang diketahui adalah oknum Banser saat upacara Hari Santri Nasional (HSN) pada Senin (22/10), tepatnya di lapangan alun-alun Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Aksi tersebut sampai membuat gencar masyarakat terutama dikalangan umat Islam. Dengan adanya peristiwa tersebut kemudian memancing berbagai reaksi panas, jgd karena ketidak terimaan mereka jika bendera Islam yang berlafadz Tauhid dibakar bahkan dibiarkan begitu saja dan aksi pembakaran bendera Tauhid tersebut menodai kekhusyukan upacara Hari Santri. Padahal sudah diketahui yang mana Banser merupakan salah satu organisasi yang terkenal sebagai barisan Ansor serbaguna NU. Adanya aksi tersebut juga sampai membuat umat Islam terprofokasi.
Sesudah video pembakaran beredar luas, unjuk rasa protes dari umat Islam pun muncul di beberapa tempat seperti Jakarta, Solo, dan Garut. Ratusan pedemo di kota-kota itu juga terlihat membawa dan mengibarkan bendera yang tengah menjadi polemik. Sempat juga diwarnai dengan adanya perdebatan-perdebatan yang sampai saat ini masih menjadi perbincangan dan sorotan publik. Pada umumnya aksi tersebut berawal dari dua sudut pandang yang berbeda.
Yaitu pertama, sudut pandang yang meyakini jika bukan bendera Islam yang dibakar tetapi bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang memang bendera tersebut menyerupai bendera umat Islam yakni Hitam Putih berlafadz Tauhid. Kedua, masyarakat beranggapan bahwa bendera yang dibakar tersebut adalah bendera umat Islam.
Yang mana aksi tersebut tidak pantas untuk dilakukan bahkan ditiru dan dianggap sebagia penistaan agama Islam. Maka secara langsung bahkan bisa secara tidak langsung telah memicu umat Islam terpancing emosi dan bisa menimbulkan perpecahan bagi umat Islam.
Dan secara tidak langsung juga kasus ini menjadi salah satu ajang permainan politik. Sebab di Indonesia mayoritas penduduknya adalah Muslim, sehingga perannya sebuah agama sangat berpengaruh sekali terhadap politik. Maka jika diusik lagi aksi ini bisa dikaitkan dengan proses Pemilu yang akan dilaksanakan tahun 2019, yang mana aksi tersebut bisa dijadikan sebuah alasan untuk ganti Presiden. Seolah-olah semakin mendekati tahun politik segala cara bisa dilakukan untuk berkampanye, bahkan bisa juga mengatasnamankan Tuhan sebagai ajang media berkampanye.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H