Di tengah kegalauan memandang nasib PSSI ke depan, saya membayangkan sosok NH yang kini begitu 'dibenci' oleh puluhan juta rakyat Indonesia, sebagai sosok 'pejuang' sejati yang sedang ketempelan rohnya sang filusuf termasyur - Niccolo Machiaveli. Lalu siapa sesungguhnya Sang Filusuf Machiavelli ini, yang berani-beraninya arwah Sang Filusuf merasuki dan menyusup pada Sang Pemimpin Besar NH?
Dari kutipan Wikipedia dapat kita ketahui bahwa: Niccolò Machiavelli (lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 - meninggal di Florence, Italia, 21 Juni 1527 pada umur 58 tahun) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principle (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik di masa itu.
Il Principe, atau Sang Pangeran sesungguhnya adalah surat Machiavelli kepada Lorenzo de' Medici, penguasa Florence, Italia, pada saat itu - adalah sebuah manual tentang bagaimana mempertahankan kekuasaan. menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seorang seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang brutal, licik, amoral, dan penuh tipu daya. Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Prinsip-prinsip yang Machiavelli paparkan dalam dalam Il Principe kemudian dikenal sebagai machiavellianisme dan orang yang mengikutinya disebut machiavellian.
Bagi sosok Machiavelli, politik adalah hanya tentang satu hal, yaitu: sebuah upaya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hal-hal lain, seperti: agama, norma, moralitas, budaya serta berbagai tuntunan moral dan hati nurani tidak ada sangkut-pautnya dengan aspek fundamental politik. Sang Filusuf menyerukan bahwa seorang penguasa sudah tidak lagi terikat oleh norma etika tradisional. Sosok seorang penguasa harus kikir, keras dan kejam dalam menghukum lawan-lawan politiknya tanpa ampun dan belas kasihan. Prinsipnya lebih baik menjadi penguasa yang ditakuti daripada dicintai, karena kebaikan justru menunjukkan sebuah kelemahan. Buat Machiavelli seorang penguasa sah-sah saja untuk melakukan tindak manipulasi dan penipuan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sosok penguasa Libya Muammar Muhammad al-Gaddafi dalam beberapa hal banyak dikaitkan sebagai seorang Machiavellian. Disaat beberapa Negara Arab sedang dilanda Revolusi dengan jatuhnya Tunisia dan Mesir, maka banyak pengamat Libya akan segera jatuh juga mengingat beberapa Provinsi sudah dikuasai oleh kaum demonstran serta sebagian tentaranya juga sudah membelot. Namun ternyata si Gaek Gaddafi masih cukup kuat untuk di tundukkan. Bahkan dalam beberapa hari terakhir beberapa daerah atau kota Provinsi yang sudah dikuasai oleh kaum demonstran bisa direbut kembali oleh kelompok pendukung Gaddafi. Usut punya usut ternyata Gaddafi bukan hanya memanfaatkan para tentara yang masih loyal padanya, namun untuk menambah kekuatan Dia juga merekrut tentara bayaran yang didatangkan dari luar, dan ternyata sedikit banyak upaya ini sudah Nampak membuahkan hasil.
Kembali ke sosok NH yang diawal tulisan ini saya ibaratkan bukan lagi sekedar sosok Machiavellian, namun mungkin sudah kesurupan arwahnya Machiavelli. Keberhasilan, kenekadan, kebuasan dan kekejaman Muammar Muhammad al-Gaddafi dalam mempertahankan kekuasaannya lewat serangan brutal pada kelompok demontran penentang kekuasaannya. Mungkin sedikit banyak menginspirasi NH untuk mempertahankan Singgasananya dengan membabibuta dan menghalalkan segala cara. Ratusan ribu demontran serta puluhan juta opini Rakyat yang menentang NH dianggap enteng saja seperti kelakuan mBah Gaddafi.
Seperti yang terungkap dalam prinsip-prinsipnya Machiavelli, hal-hal lain, seperti: agama, norma, moralitas, budaya serta berbagai tuntunan moral dan hati nurani tidak perlu dipertimbangkan atau lebih baik diabaikan saja. Prestasi kepemimpinan dan citra positif serta bebagai tetek bengeknya tidak perlu diperhatikan, karena buat seorang sosok Sang Pemimpin Besar NH sah-sah saja untuk melakukan tindak manipulasi dan penipuan untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka pantas kita memberi peringatan, Awas bahaya laten NH!
Twitter: @rofiq70
FB: arofiq aja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H