Lihat ke Halaman Asli

KMP vs KIH Lebih Baik Bertahan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontestasi Koalisi Merah Putih (KMP) VS Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak terlepas dari proses transformasi politik Indonesia kekinian. Penulis sedikit mundur kebelakang untuk menelusuri eksistensi ilmu politik pada konteks koalisi partai-partai politik yang telah membentuk dua poros besar, yaitu: KMP dan KIH. Kita tahu bahwa ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.

Maka tidak salah kalau politik substansinya sangat dekat dengan sebuah perjuangan nilai-nilai atau struggle value yang intangible. Kalau substansinya dan parameter puncak prestasi dari politik itu adalah intangible maka sangat aneh kalau seseorang yang menyebut sebagai seorang politisi bisa terjebak dalam godaan materialistik yang instan. Karena KPI (key performance indicator) dari seorang politisi itu jauh dari hal-hal yang sifatnya materialistik. Kalau seorang praktisi bisnis saja yang tergoda pada hal-hal materialistik yang instan, permainan jangka pendek, manipulasi dan persaingan akan bisa menggerus integritas. Bisa dibayangkan berbahayanya seorang politisi yang terjebak pada godaan tersebut, maka resikonya tidak hanya menggerus integritas namun akan terjadi hambatan nyata dalam pelaksanaan kebijakan publik dan cacatnya implementasi penyelenggaraan pemerintahan dan negara.

Seorang politisi idealnya memang harus sudah selesai dengan masalah-masalah pribadi khususnya yang berkaitan dengan ekonomi dan mempunyai ideologi yang tegas sesuai dengan keyakinannya serta mempunyai endurance (daya tahan) untuk tidak terjebak dengan berbagai kepentingan jangka pendek. Seorang politisi harus mempunyai ROH Politik untuk bisa memperjuangkan berbagai nilai-nilai ideal yang telah diyakini kebenaranya dalam bungkus ideologi. ROH politik inilah yang sudah mulai terkikis pada sosok politisi kekinian, sehingga kita bisa melihat dengan mudah para politisi yang terjebak dalam kepentingan pragmatis jangka pendek. Fenomena kutu loncat antar partai atau kutu loncat dalam sebuah koalisi menjadi sebuah kebiasaan yang dengan mudah kita jumpai, bahkan sudah menjadi sebuah kewajaran.

Hilangnya ROH Politik ternyata membawa dampak yang sangat serius bagi para politisi, khususnya pada era reformasi ini. Ideologi dan nilai-nilai ideal seolah telah terbuang dalam tong sampah, dan digantikan oleh nilai-nilai pragmatis yang bersifat material. Bahkan untuk meraih jabatan politik pun harus menyiapkan segepok uang untuk sekedar “menyuap” hati rakyat agar bisa terpilih sebagai anggota dewan atau kepala daerah. Karena untuk meraih sebuah jabatan politik diperlukan investasi yang mahal, tidak aneh kalau saat menjabat maka program utama nya adalah mengembalikan dulu investasi tersebut. Ujung dari cerita ini mudah di tebak bahwa para politisi yang sudah keblinger ini berakhir di hotel prodeo.

Lingkaran setan pragmatisme instan ini harus segera diakhiri kalau tidak mau bangunan perpolitikan kita mengalami pembusukan dan akhirnya ambruk. ROH Politik harus segera ditanamkan untuk menggantikan lingkaran setan pragmatisme instan. Pada konteks inilah telah terjadi perubahan yang cukup signifikan pada Pemilu dan Pilpres tahun 2014, setelah terjadi gelombang pragmatis instan pada era reformasi ini. Munculya pengelompokan poros Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang tidak semata-mata alasan pragmatisme instan, masing-masing kelompok mencoba mendefinisan diri dan mencitrakan dua kekuatan yang mempunyai basis ideologi yang berbeda dan terlepas dari ideologi lama yakni: agama dan nasionalis.

Kemunculan poros KMP dan KIH membawa angin segar bagi kebuntuan lingkaran setan pragmatisme instan politik uang. Mungkin harus akui bersama bahwa kemunculan pengelompokan ini bukan atas dasar sebuah perjuangan nilai-nilai ideal, namun lebih atas dasar “dendam politik” warisan persaingan dalam Pilpres tahun 2014 kemarin yang benar-benar telah membawa pengelompokan dukungan sampai akar rumput masyarakat. Sesuai dengan tradisi partai-partai politik di Indonesia yang menganut pragmatisme instan, banyak praktisi pengamat politik yang memproyeksikan kontestasi KMP dan KIH hanya jangka pendek, seperti periode Pilpres sebelumnya partai-partai akan berbondong-bondong melobi untuk bisa masuk dalam pemerintahan meskipun mereka dalam Pilpres tidak masuk dalam koalisi pendukung Pilpres.

Namun pada periode pasca Pilpres 2014 ini keadaan berbeda 180 derajat dibandingkan periode Pilpres sebelumnya. Sebagai koalisi pemenang Pilpres biasanya mereka tinggal menunggu untuk dilobi beberapa partai untuk menempatkan kadernya dalam kabinet. Namun kini sampai 10 hari menjelang pelantikan Jkw–Jk belum ada satu pun partai di luar koalisi KIH yang memastikan untuk masuk dalam kabinet atau pemerintahan. Hanya PPP yang konon punya rencana untuk lompat pagar ke poros KIH, itupun masih terjadi polemik tarik-menarik di internal PPP.

Penulis mengamati pada konteks ini tanpa kita sadari telah terjadi transformasi politik di Indonesia. Lingkaran setan pragmatisme instan politik uang pada era reformasi, yang pada masa lalu telah membawa korban bagi ratusan politisi harus rela menginap di hotel prodeo karena melakukan berbagai aksi korupsi. Belum lagi para politisi telah mengalami kejenuhan dan kebuntuan untuk mengatasi maraknya politik uang dengan berbagai regulasi yang ada. Namun kini tanpa kita sadari bahwa pengelompokan poros KMP dan KIH makin lama makin mengkristal menjadi sebuah nilai-nilai yang mempunyai substansi yang berbeda dalam cara pandang atau paradigma untuk menyusun berbagai kebijakan pembangunan Indonesia di masa depan.

Pada titik inilah penulis untuk mendorong agar eksistensi KMP dan KIH tetap bertahan dalam jangka panjang. Kita juga harus mendorong mereka tidak hanya berhenti dalam kontestasi politik untuk memperebutkan posisi di DPR, MPR, DPRD maupun Kepala Daerah dalam Pilkada, namun yang lebih substasi adalah menyusun berbagai nilai-nilai pembeda dalam cara pandang untuk menyusun berbagai kebijakan pembangunan yang muaranya tentu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam jangka panjang saya bahkan memimpikan kontestasi KMP VS KIH bisa menjadi semacam cikal bakal lahirnya partai Republik dan partai Demokrat di Amerika Serikan, seperti tema tulisan saya terdahulu: KMP VS KIH Cikal Bakal Republik VS Demokrat

FB: arofiq aja

Twitter: @rofiq70

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline