Penulis sengaja menggunakan istilah Jokowinomics untuk menunjuk pada kepemimpinan pemerintahan Jkw – Jk periode tahun 2014 – 2019. Mayoritas para pengamat ekonomi dan politik sepakat bahwa paket Jkw – Jk dalam Pilpres 2014 relatif bisa diterima pasar dibandingkan misalnya pasangan Prabowo – Hatta. Keyakinan ini makin dikuatkan oleh beberapa periode kenaikan rupiah dan pasar saham setiap momen pengumuman kemenangan Jkw – Jk.
Penulis menelusuri data minimal ada tiga momen pengumuman kemenangan Jkw – Jk yang mampu mendongkrak rupiah dan pasar saham. Pertama, pada tanggal 10 Juli 2014 penguatan rupiah dipengaruhi hasil hitung cepat (quick count) mayoritas lembaga survey, yang menempatkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Rupiah di pasar spot pada tanggal 10 Juli 2014 menguat 70 poin di level Rp 11.556 per dolar AS dibanding penutupan terakhir yaitu Rp 11.636.
Kedua, pada tanggal 23 Juli 2014 pasca Komisi Pemilihan Umum secara resmi membacakan surat keputusan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden, di mana pasangan nomor urut dua mendapat suara terbanyak, dalam pembacaan secara terbuka di Jakarta, Selasa (22/7/2014) malam. "Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua, saudara Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. M. Jusuf Kalla sebanyak 70.997.833 suara atau 53,15% dari suara sah nasional," kata ketua KPU Husni Kamil Manik. Paginya tanggal 23 Juli 2014 Indeks LQ45 naik 0,82 persen ke 880,98 sementara indeks Investor 33 naik 0,85 persen ke 367,78. Sementara Rupiah mengikuti trend positif menguat 0,92 persen (106,3 poin) ke 11.500.
Ketiga, pada tanggal 21 Agustus 2014 pasca pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Prabowo-Hatta yang menjadikan hasil pengumuman KPU terhadap presiden dan wakil calon presiden terpilih 2014 valid pada Kamis (21/8/2014) lalu berimbas positif terhadap pergerakan Indeks Harga Saham gabungan (IHSG). Pada tanggal tersebut IHSG dibuka dengan harga yang hampir mencapai titik tertinggi yang pernah dicapai. Perdagangan di Bursa Efek Indonesia meningkat 0,2% menjadi 5,223.95 poin, atau level harian tertinggi sejak 29 Mei tahun lalu. Rupiah juga mengikuti penguatan menjadi 11.655 terhadap dolar AS.
Ketiga momen itu membuktikan kekuatan Jokowi Effect mampu mendongkrak nilai rupiah dan pasar saham. Namun apa daya kini rupiah dan pasar saham sama-sama terkulai menjelang pelantikan Jkw – Jk pada hari Senin 20 Oktober 2014. Data kurs BI menunjukkan angka Rp 12.290.000,- per US Dolar dan IHSG pada level 4.922 (15/10/2014). Masihkah Jokowi Effect punya asa untuk mengatrol nilai rupiah dan indeks pasar saham menjelang pelantikan dan pengumuman paket kabinetnya.
Ketika kini rupiah dan indeks pasar saham sedang loyo banyak pengamat politik berdalih bahwa ini salah satu efek dari kemenangan Koalisi Merah Putih (KMP) pada lembaga DPR dan MPR. Benarkah kegaduhan politik ini menjadi penyebab merosotnya nilai rupiah dan indeks pasar saham. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa menampik tudingan pertarungan politik antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat membuat kegaduhan politik. “Saya tegaskan tidak ada kegaduhan politik. Cita-cita Koalisi Merah Putih (KMP) adalah menjaga negara ini menjadi bangsa yang maju dan besar. Bersama-sama berlomba dalam kebaikan,” kata Hatta Rajasa saat acara syukuran Koalisi Merah Putih di Masjid Al Bakrie, Kuningan, Jakarta, Jumat (10/10 2014) Rakyat Merdeka.Hatta juga menolak tuduhan bahwa KMP berniat menjegal pemerintahan Jokowi-JK. Tidak pernah ada agenda itu di KMP.“Kami tegaskan tidak seperti itu. Apalagi akan menjegal agenda kenegaraan,” ujarnya.
Penulis lebih meyakini bahwa terpuruknya rupiah dan pasar saham lebih karena Monetary and Financial Attacks. Salah satu alasannya karena Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed tetap pada keputusannya untuk melanjutkan pengurangan stimulus moneter (tapering off). Jika semula quantitative easing (QE) diturunkan dari 85 miliar dollar AS menjadi 75 miliar dollar AS per bulan, kini dosisnya diturunkan lagi menjadi 65 miliar dollar AS per bulan, dan penurunan ini akan terus dilakukan.
Indonesia termasuk negara yang mata uangnya terdepresiasi paling parah. Mengapa? Pertama, dari sisi fundamental, Indonesia tengah menderita defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan yang cukup signifikan. Defisit perdagangan 2013 mencapai sekitar 5 miliar dollar AS. Defisit ini jauh lebih buruk daripada angka tahun sebelumnya, yakni: minus 1,67 miliar dollar AS (2012). Sedangkan defisit transaksi berjalan mencapai 32 miliar dollar AS. Ini juga angka yang mencengangkan, sangat buruk. Defisit keseimbangan eksternal ini ujung-ujungnya menggerus cadangan devisa dan kurs rupiah. Kedua, dari sisi sentimen, tingat kepercayaan terhadap pemerintah pada level titik terendah. Terkuaknya berbagai kasus korupsi telah menggerus tingkat kepercayaan para pelaku ekonomi. Akibatnya, para pemilik valuta asing enggan melepas dollarnya, sehingga rupiah terus terbang hingga diatas Rp 12.000 per dollar AS.
Sebenarnya Indonesia tidak sendirian menghadapi situasi seperti ini. Setidaknya ada dua negara emerging markets lain yang nasibnya mirip, yakni India dan Turki. Begitu Federal Open Market Committee (FMOC) di AS memutuskan menambah penurunan tapering off, suku bunga acuan India dinaikkan 0,25 persen menjadi 8 persen. Ini dimaksudkan agar mata uang rupee tidak merosot lebih lanjut. India dalam 1-2 tahun terakhir mengalami krisis aliran modal ke luar negeri (capital outflow) yang menyebabkan depresiasi rupee secara dalam (The Economic Times, 31/1/14).
Pertanyaan selanjutnya, mampukan Jokowinomics mengembalikan keperkasaan rupiah dan pasar saham. Sebagaiman yang tercantum dalam dokumen program kerja Jkw – Jk, ada paling tidak empat program utama ekonomi di era Jokowinomics, yakni: pembangunan infrastruktur guna menciptakan keterangkaian geografis yang bebasis maritim demi mewujudkan kesatuan ekonomi nasional; pembangunan pertanian dan agroindustry untuk menciptakan kemandirian pangan; pengembangan manufaktur untuk menciptakan industri yang kompetitif; dan pemberdayaan “ekonomi tradisional” untuk menciptakan keadilan. Dari keempat program utama ini bermuara untuk mengejar target pencapaian pertumbuhan ekonomi 7 persen.
Sayangnya belanja modal pada UU APBN 2015 hanya tersisa 10 persen, artinya ruang manuver fiskal bagi pelaksanaan Jokowinomics sangat sempit, terutama pada tahun pertama pemerintahannya. Apalagi kita semua mengetahui bahwa program Jokowinomics tersebut membutuhkan akumulasi belanja modal yang sangat besar. Pada titik inilah pemerintahan Jkw – Jk harus benar-benar fokus untuk menyelesaikan masalah ekonomi, terutama misalnya membekaknya subsidi energi yang bisa melambung lebih dari Rp 350 Triliun. Sudah bukan waktunya lagi mencari kambing hitam, apalagi menyalah-nyalahkan KMP sebagai kambing hitam, karena posisi KMP yang dominan di parlemen justru positif sebagai check and balance.
FB: arofiq aja
Twitter: @rofiq70
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H