Sekitar dua bulan yang lalu, kami sekeluarga besar mengurus perkawinan adat keponakan laki-laki, Eto Dodok. Jodohnya perempuan Sumba juga, namanya Lily. Ayah dan ibu Lily keturunan Sabu.
Meskipun keluarga Lily ini lahir dan besar di Sumba dan orang Sumba sendiri sudah menganggap mereka orang Sumba, namun dalam pelaksanaan tradisi adt-istiadat kebudayaan, mereka tetap berpegang teguh dan setia dengan tradisi Sabu, salah satu pulau dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Begitulah yang terjadi saat kami meminang calon isteri keponakan kami. Kami harus taat dengan tradisi Sabu. Tradisi ini dikenal dengan sebutan Kenoto.
Dalam kenoto ini kami keluarga laki-laki tidak perlu membawa mahar pembelisan sebagaimana layaknya tradisi Sumba yaitu kerbau, kuda dan sapi.
Kami hanya diminta membawa sirih-pinang, dulang-dulang berisi oleh-oleh atau cinderamata, termasuk cincin kawin dan mahar dalam rupa uang sesuai kesepakatan. Nilainya tidak sebanding dengan tradisi mahar orang Sumba.
Dari sisi ekonomi tentu saja kami bergembira karena sangat efisien. Apalagi ternak di Sumba saat ini makin langka dan konsekuensinya mahal harganya.
Memang dari sisi tradisi adat-istiadat kebudayaan orang Sumba, sepertinya ada yang tidak seirama. Karena calon istri keponakan kami tidak bisa pindah suku secara otomatis ke suku keponakan kami dari Kodi.
Dalam tradisi perkawinan Sumba, setelah pembelisan tuntas, maka calon isteri wajib hukumnya pindah ke suku calon suaminya.
Namun demikian kami sangat memahami bahwa inilah keunikan dan keindahan tradisi adat-istiadat kebudayaan Indonesia yang wajib dihormati dan dilestarikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H