Pernyataan saya seperti bunyi judul artikel ini bisa jadi akan mengundang pembaca untuk mendebatnya. Ayo silahkan saja. Saya suka itu. Tapi saya sudah kira-kira yang akan mendebatnya adalah bukan praktisi politik. Jika ada praktisi politik yang mendebatnya, maka mereka sedang melakukan penipuan.
Dalam dunia politik praktis, yang dicari oleh para praktisi politik, orang-orang partai, adalah teristimewa "kekuasaan". Bagi mereka kekuasaan adalah segala-galanya. Harga diri atau martabat, ketenaran atau popularitas, dan harta akan mereka pertaruhkan atau korbankan untuk memperoleh kekuasaan.
Untuk memperoleh kekuasaan memang tidak mudah dalam era demokrasi seperti sekarang ini. Jika ingin memperoleh kekuasaan harus melalui instrumen demokrasi yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu seperti sebuah ajang kompetisi sepak bola yang menyediakan hadiah piala "kekuasaan". Kekuasaan itu milik rakyat. Sponsorship-nya adalah rakyat. Panitia pelaksananya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengawas atau wasitnya adalah Panwaslu. Pesertanya adalah partai-partai dan para kandidatnya. Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Pemilu adalah ajang berebut kekuasaan.
Karena Pemilu adalah ajang berebut kekuasaan, maka hukum rimba pun akan terjadi. Siapa yang kuat dialah yang menang.
Dalam konteks politik praktis, kata kuat bisa bermacam-macam maknanya. Bisa kuat visi dan misi. Bisa kuat strategi atau kiat. Tapi juga bisa kuat secara fisik untuk ancam-mengancam atau intervensi. Juga bisa kuat uang untuk beli suara rakyat dan penggelembungan perolehan suara.
Hal tersebut bukanlah kisah dongeng, tapi fakta yang terungkap berdasarkan empiritas pelaksanaan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Bukankah kita pernah mendengar ada Bupati dan Wakil Bupati, DPD RI, DPR RI, dan DPRD yang menang karena kecurangan penggelembungan suara?
Oleh karena itu, sebagai pemilik kekuasaan secara berdaulat, rakyat seharusnya tidak boleh masa bodoh dengan pelaksanaan Pemilu yang akan digelar pada 17 April 2019 mendatang. Jika rakyat masa bodoh, maka kekuasaan miliknya akan jatuh ke tangan-tangan yang masa bodoh juga.
Tanpa maksud saya menggurui, karena rakyat pun juga tahu, bahwa para praktisi politik yang bertarung berebut kekuasaan sekarang ini, tidak semuanya figur yang baik-baik saja. Siapa tahu di antara mereka banyak juga preman, pemabok, penjudi, pencuri, perampok dan pembunuh serta agen teroris terselubung. Dapat dibayangkan apa jadinya jika merekalah yang akan memperoleh kekuasaan rakyat untuk lima tahun ke depan. Mungkin bencanalah yang akan dipanen.
Oleh karena itu, rakyat harus berjaga-jaga dan siaga. Jangan asal pilih saja. Pilihlah yang layak dan pantas dipilih. Dan jagalah suaramu secara ketat. Karena jual beli suara itu bukanlah isapan jempol belaka.
Tambolaka, 31 Maret 2019