Di siang cerah hari Minggu 4 Januari 2018, selepas mengikuti Misa di Katakombe Bunda Karmel di Stasi Weepaneru, kami sekeluarga mampir di Weewini. Tujuan kami tidak lain hanyalah untuk menikmati pesona wajah cantiknya. Menyegarkan mata untuk melengkapi oase rohani dari Katakombe.
Weewini dalam bahasa ibu suku Wewewa, di Kabupaten Sumba Barat Daya, terdiri dari kata Wee yang berarti air dan Wini adalah nama orang. Khusus untuk kaum perempuan. Wini sendiri adalah sapaan halus untuk kaum perempuan yang bernama Tenge. Jadi, secara harfiah, Weewini berarti air Wini.
Weewini ini adalah nama sebuah danau, yang terletak di sisi selatan Katakombe. Posisinya strategis dan mudah dikunjungi karena letaknya tidak jauh dari jalan raya yang dilewati. Hanya sekitar 75 meter. Secara administratif, ia berada di Desa Kalaki Kambe, Kecamatan Wewewa Barat.
Profil yang disuguhkan Wewini sangat indah, menarik dan juga menggoda. Cukup luas, ya sekitar satu hektar. Airnya biru bening tapi sangat bersih. Permukaan airnya tenang sekali. Bahkan terlampau sangat tenang. Membuat hati juga damai berada di bibirnya.
Ketenangan airnya merupakan gambaran kedalaman air Weewini. Menurut Heri Ama Aste, sangat dalam. "Belum ada yang mampu memperkirakan kedalamannya," tuturnya. Lanjut Heri, tokoh masyarakat sekitar danau Weewini, "Suatu waktu Pater Paul Hasler, CSsR, seorang pastor asal Jerman pernah menyelam namun tidak sampai ke dasarnya."
Informasi dari Heri ini, juga menjadi nasehat bagi orang baru yang berkunjung ke Weewini, supaya tidak melompat sembarangan ke dalam air danau kalau tidak bisa berenang. Tapi kalau memang bisa berenang tidak usah takut, nikmatilah kesejukan air danau Weewini. Setiap hari, pagi, siang dan sore, kita dapat menjumpai banyak orang, termasuk anak-anak di sekitarnya, yang tampak sangat bergembira ketika berenang di palungan Weewini.
Danau Weewini juga menawarkan kesejukan dan oksigen yang segar. Sepanjang keliling punggung bibir Weewini masih cukup dipadati pohon-pohon besar yang tajuknya lebar dan hijau.
Danau ini mempunyai legendanya. Ia adalah bekas kampung adat yang tenggelam.
Konon pada jaman dahulu, ada warga di kampung tersebut yang mencuri seekor babi milik seorang nenek yang juga warga kampung itu. Nenek yang hidup sebatang kara ini bernama Tenge.
Daging babi tersebut dinikmati oleh seluruh warga kampung, namun mereka tidak tahu sumbernya dari mana. Ketika nenek tersebut memanggil-manggil babinya pada sore hari menjelang maghrib baru warga kampung tersebut menduga-duga bahwa daging babi yang mereka makan itu adalah babi nenek Tenge. Namun tidak ada seorang pun yang berani untuk memberitahukan kepada nenek Tenge.
Nenek Tenge tersebut sangat sedih karena kehilangan babi kesayangannya. Berhari-hari ia mencarinya namun tidak ada seorang warga kampung pun yang membantunya.