Gara-gara Piala Presiden. Hanya gara-gara Anies Baswedan tidak dampingi Joko Widodo saat penyerahan Piala kejuaraan kepada Persija. Publik, terutama di Jakarta, bikin gara-gara. Komentar berseliweran dan merambat ke mana-mana.
Semua gara-gara tersebut cenderung bernuansa provokatif. Secara tersembunyi atau tampak, publik sepertinya bertujuan untuk mengadu Presiden versus Gubernur DKI Jakarta. Diadu untuk apa? Ya tujuannya untuk kepentingan politik. Politik praktis. Politik kekuasaan. Muaranya, politik menjelang Pemilu Presiden 2019. Calon presiden dan wakil presiden.
Isu kecil dibesar-besarkan. Masalah sederhana diistimewakan. Demi dan untuk sebuah popularitas. Sangat dangkal. Sungguh murahan. Tidak substansial. Ciri khas intrik politik ala Indonesia. Pantas saja majunya berjalan seperti siput.
Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia yang masih sedang berkuasa. Anies Baswedan adalah Gubernur DKI Jakarta yang juga masih sedang berkuasa. Dalam hierarki pemerintahan, Jokowi adalah atasan Anies. Atau, Anies adalah bawahan Jokowi. Jokowi memimpin lebih dari 30 Provinsi dan Anies memimpin hanya 1 Provinsi saja.
Secara etika birokrasi pemerintahan, mengadu antara Jokowi dengan Anies, sangat tidak etis. Sama dengan menurunkan kelasnya Jokowi dan mendongkrak kelasnya Anies. Atau menganggap remeh posisi Jokowi dan mengagung-agungkan posisi Anies. Ibarat dalam dunia tinju, Jokowi berkelas berat versus Anies berkelas terbang ringan. Sebuah lelucon yang tidak lucu. Sangat berlebihan. Juga sangat naif. Menggemaskan.
Beruntunglah bangsa ini, Jokowi dan Anies, adalah dua figur yang sangat dewasa dan rendah hati. Jokowi tidak merasa direndahkan kedudukannya. Anies juga tidak merasa besar kepala. Mereka sama-sama tenang-tenang saja. Mereka tidak menelorkan komentar atas komentar publik yang mencari gara-gara.
Saya bahkan menduga, hubungan Jokowi dan Anies baik-baik saja. Mungkin sangat mesra juga. Siapa yang bisa memastikan, ketika Anies diganti dari posisinya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, karena Jokowi tidak menyukainya lagi atau karena kinerja Anies rendah. Atau, jangan sampai ada kesepakatan strategis yang tidak tampak antara Jokowi dan Anies. Bisa juga, ada kesepakatan strategis segi tiga antara Jokowi, Anies dan kekuatan besar lainnya.
Buktinya, tidak lama setelah Anies diberhentikan dari posisi Menteri, langsung disambut menjadi calon Gubernur DKI dan kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI. Fakta ini membalikkan logika yang normal. Normalnya, popularitas Anies yang baru diturunkan dari Menteri, seharusnya anjlok, tapi kenyataannya melejit seperti kilat.
Dugaan saya ini, mungkin saja dianggap sangat subyektif. Tapi bukan tanpa dasarnya. Setahu saya, Jokowi dan Anies itu satu almamater. Mereka sama-sama alumnus S1 dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Secara otomatis mereka sama-sama anggota KAGAMA, organisasi Keluarga Alumni UGM.
Saya memang bukan anggota KAGAMA, tapi cukup mengenal KAGAMA. Organisasi ini sangat kuat dan kompak serta familiar. Setiap senior wajib mengayomi uniornya. Sebaliknya, setiap unior wajib menghormati seniornya. Solidaritasnya juga sangat tinggi di antara sesama anggota KAGAMA.
Jadi, bagaimanapun upaya publik secara terus-menerus mengadu antara Jokowi dan Anies, saya optimis Jokowi dan Anies tidak akan bergeming. Bisa saja, mereka merespon setiap isu yang sedang bergulir dengan cara mereka saling mengontak secara pribadi dan terbahak-bahak, menertawakan kekonyolan orang-orang yang bertujuan mengadu mereka.