Pasola atau Paholong, sebagaimana telah saya posting pada 24 dan 25 Januari 2018 kemarin, bukan hanya memiliki makna religiusitas dan impact yang besar terhadap eksistensi kuda sandlewood saja. Tapi Pasola juga mempunyai impact yang besar terhadap eksistensi kain tenun masyarakat Sumba.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Sumba, termasuk di empat wilayah suku, tempat penyelenggaraan iven Pasola, yaitu Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, dan Wanukaka, Lamboya dan Gaura, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mempunyai ketrampilan tangan dalam menenun kain.
Menenun kain ini umumnya dikerjakan oleh para kaum perempuan, baik para ibu rumah tangga maupun para gadis di pedesaan. Memang ada juga satu atau dua orang kaum laki-laki yang bisa menenun.
Kain tenun tersebut dapat digolongkan sebagai kreativitas seni. Ini dilihat dari aneka motif yang tergambar dalam lembaran kain tenun. Teristimewa kain tenun ikat, sungguh-sungguh bukan sekadar ketrampilan tangan biasa, tapi kreativitas melukis dengan kemampuan atau kemahiran membuat motif dan warna-warni corak khas Sumba dengan cara mengikat.
Dilihat dari bentuknya, kain tenun Sumba, terdiri dari hanggi (kain panjang), , lowo (sarung), dan henggul (selendang). Kain panjang digunakan oleh para kaum laki-laki sebagai busana adat dengan mengikatkan di pinggangnya, menutupi panggul sampai di atas lutut. Kain panjang juga dilingkarkan di bahu para kaum laki-laki, yang disebut tamba koko.
dokpri
Sarung digunakan sebagai busana adat oleh para kaum perempuan. Mereka melingkarkan dipinggang, menutupi panggul sampai mata kaki.Sementara selendang, digunakan oleh para kaum laki-laki sebagai ikat kepala yang disebut henggul atau hanggul(setara dengan mahkota). Para kaum perempuan juga mengenakan selendang sebagai tamba koko.
Sesuai perkembangan zaman sekarang ini, kain tenun juga sudah dijadikan bahan busana modern, seperti baju jaz, rok, wiron, dan lain-lain.
Kain tenun seperti itulah yang menjadi busana adat yang digunakan oleh masyarakat Sumba, teristimewa di empat wilayah suku di atas, saat penyelenggaraan iven Pasola. Kain tenun yang mereka gunakan pasti yang terbaik dan baru.
Sudah semacam mentradisi bahwa untuk menghadiri iven Pasola, warga masyarakat baik yang mudik ke kampung adat maupun yang pergi menonton Pasola, harus dengan kain tenun terbaik dan baru.
Dapat dimaklumi karena di arena lapang Pasola akan berjumpa dengan banyak sekali masyarakat. Tentu sebagai manusia normal, secara psikologis ada perasaan kurang pantas bila menggunakan busana kain tenun yang sudah usang.