Suatu hari masih pagi, saya bersama kawan-kawan untuk pertama kalinya menuju Pantai Watu Malado, yang terletak di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar. Satu jam perjalanan dengan mobil dari Tambolaka, ibu Kota Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kami sudah merapat di dekat pantai, setelah melalui jalan beraspal .
Begitu menginjakkan kaki di bibir pantai, kami terhentak dalam decak kagum, "Ya Tuhan sungguh besar karya agung-Mu menciptakan pantai yang sangat indah," tutur seorang kawan spontan.
Saat itu, kami beruntung, karena laut sedang surut, sehingga dapat menapaki pantai yang rata dan luasnya sekitar dua kali lipat lapangan sepak bola, setelah menyeberangi aliran sungai dangkal. Begitu berada di tengah pantai itu kami dapat melihat secara jelas enam buah pulau kecil. Empat buah diantaranya ditumbuhi rerumputan seperti noktah-noktah hijau, berdiri kokoh dan seolah-olah diatur secara rapih. Kami sangat terkesima dan seorang kawan yang lain berseloroh, "Ini lebih dahyat indahnya daripada Tanah Lot di Bali."
Masyarakat Kodi ternyata telah memberi nama untuk tiga buah pulau yang lebih besar dari pulau yang lainnya. Pulau yang berdiri cukup jauh dari bibir pantai dan di lautan lepas dinamai Kandi Lorro (Penjaga Lautan Lepas yang Dalam), Pulau berkaki tiga dekat dengan bibit pantai pada posisi pertemuan aliran sungai dan laut dinamai Kahongo Loko (Penunggang Sungai). Sedang pulau yang berada persis di bibir pantai diberi nama Kandi Kahuda (Penjaga Pantai).
Pantai Watu Malando memang merupakan muara, tempat berakhirnya aliran Sungai Pola Pare, sungai terpanjang di Sumba Barat Daya. Sehingga warna pasirnya tidak seputih pasir pantai-pantai lainnya di wilayah itu. Pola Pare adalah sungai terpanjang di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Udara segar dapat dihirup di pantai tersebut karena dikelilingi rimbunan pepohonan, terutama mangrove (pohon bakau) yang beribu-ribu jumlahnya. Sayang fasilitas untuk berwisata di sana belum ada. Namun demikian, langkah kami terasa berat untuk meninggalkan pantai Watu Malando ketika sunset berwarna jingga mulai perlahan-lahan tergambar di bawah kaki cakrawala. "Kapan lagi kita ke sini," demikian kata teman-teman saat itu.
(Rofinus D Kaleka, tinggal di Sumba Barat Daya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H