Lihat ke Halaman Asli

Rofinus Emi Lejap

Penyakit dan kemiskinan tidak mampu memenjarakan imajinai dan gelora pengembangan dalam batinku. Waktu terus bergerak maju dan tidak pernah akan kembali dan selalu menampilkan pemandangan baru.

September Kelabu di Langit Betawi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By: Rofinus Emi Lejap

Si Pitung nyengir sambil memelintir ujung kumisnya yang kriting, melengkung mengotori bibir pucat yang terpoles sambal pete meitin mpok Suleha. Angin September, sejuk walau kotor memporakporanda onggokan sampah di sepanjang pesisir Sunda Kelapa. Di tengah gang sempit sekelompok bocah sibuk memamerkan kostum keseblasan sesuai versi setiap mereka.

Tetapi semua itu tidak mempengaruhi arti nyengir si Pitung. Makna nyengirnya tidak berkaitan dengan kriting kumisnya. Dan juga tidak oleh mpok Suleha yang suka mesem padanya dan melirik jenaka malu-malu ala kucing gendut pasar loak Tanahabang. Nyengir si Pitung bermakna politis gaya reformasi kebablasan yang merdeka, sebebas serpihan sampah yang diterbangkan angin September menambah kelabu langit Betawi.

Mendung kering tanpa hujan mengalir dari daratan Sumatera melewati Selat Sunda yang padat. Mendung oleh asap kebakaran hutan yang garang menerjang dan mengiris lapisan ozon menambah tebal rumah kaca langit Betawi serta menyebarkan panas menyengat. Membuat si Pitung lebih banyak melepaskan kaos oblongnya memamerkan gurat-gurat dan otot keperkasaan warisan masa muda yang kian keriput.

Betawi semakin sumpek. Ribuan kendaraan baru selalu bertambah setiap tahun, sementara yang kedaluwarsa dan seharusnya pensiun sebagai besi tua, tetap dipelihara, ibarat istri pertama dan kedua yang sayang bila dibuang, biarpun sudah ada yang ketiga dan keempat. Itu bukan karena mau berhemat dan bukan pula mendewakan barang antik. Tetapi akibat penjajahan berkepanjangan yang mewariskan generasi pemulung dinegeri ini. Generasi yang bermental n’rimo membiarkan tanah leluhur digusur menjadi milik pendatang dan gantian penduduk asli menjadi penduduk urban, yang tidak punya tanah dan rumah lagi.

Betawi tumbuh menjadi kota megapolitan yang senyum pun harus dibuat kebarat-baratan agar tidak terkesan udik dan out-uptodate. Kaum pendatang memiliki tanah dan gedong bertingkat sedangkan penduduk asli yang leluhurnya dulu, membangun pondoknya di pinggir empang kini anak cucu dan buyutnya menjadi orang asing walau bangga sebagai orang yang punya Jakarta.

Si Pitung mengernyitkan keningnya sambil menghembuskan asap rokok ber-aroma pete ke atas langit Jakarta. Sambil membayangkan saudaraya si Danu yang sudah menyingkir jauh entah ke mana setelah tanahnya digusur demi kemajuan kota. “Ah… ade-ade aje tuh kemajuan. Apakah demi die...., nyang asli mesti digusur?” Tanah warisannya sendiri yang dulu berhektar-hentar kini tinggal sepetak tempat ia dan istri, anak serta cucunya berhimpit-himpitan. Ibarat lagu Gang Kelinci yang dulu dinyanyikan abang Bing Slamet.

Si Pitung seakan bernostagia ke masa orla yang hinggarbingar oleh alam demokrasi meski ekonomi dalam bentuk sen dan ketip yang diberi label gotongroyong. Orba tampil perkasa memamerkan kejantanan tanpa feminimisme mengganyang sapu bersih faham komunisme dari benak dan bumi Nusantara. Dan lalu rakyat dihantar oleh demokrasi Pancasila yang terpimpin dengan pemimpin tugggal yang harus dipilih secara demokrasi meskipun tidak demokratris. Reformasi menumbangkan kejayaan orba lalu bagai bayi, merangkak tertatih-tatih di tengah onak kebebasan yang harus disadarkan karena kelewat jalang bak sajak ‘aku’ si Chairil Anwar.

Jakarta makin bergeming megah menyamai megapolitan dunia. Sentra-sentra bisnis menawarkan pesona-pesona dengan nama dan slogan asing yang terkesan baru, modern dan memang asing bagi Si Pitung dan kawan-kawannya pencinta sayur jengkol dan sambal pete. Restoran berjejer dengan makanan ala China, Jepang dan Italia dengan harga sepuluh kali lipat, padahal bahan bakunya cuma jagung dari Pondok Cabe dan udang dari empang mang Udin di Rawa Belong. Rupanya reformasi dan kemajuan membuat segala sesuatu biasa harus menjadi asing dan mahal.

Kumis Si Pitung bergoyang diterpa angin September yang tetap kering, gersang dan membakar. Di bawah pohon jengkol warisan satu-satunya yang tengah meranggas, hatinya tetap berharap pada Bang Foke dan Bang Jokowi. Semoga siapa pun yang akan terpilih tetap memelihara keaslian dan tradisi Betawi. Musik keroncong, ondel-ondel, sayur asem dengan bumbu warteg tetap menghiasi keremangan Sunda Kelapa dan langit Betawi dibulan September.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline