Penulis: Rofinus Sela Wolo
Ramy (27), panggilan akrab pria asal Desa Miskin yang sudah beberapa tahun mengadu nasib di Ibukota, Jakarta. Ia pergi meninggalkan kampung halamanya sejak lulus sebuah Sekolah Menengah Umum (SMU) swasta di Suka Makmur.
Ramy adalah pria yang ulet, jujur, dan loyal dalam bekerja. Dia juga tekun belajar dan khusuk dalam berdoa. Dia pria yang baik hati. Selalu sabar dalam melakukan pekerjaan. Selalu sabar menghadapi situasi yang menghambat setiap aktivitasnya. Sabar menunggu cintanya datang.
Bertahun-tahun bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan swasta dengan gaji pas-pasan, Ramy menikmatinya. Dia selalu melakukanya dengan cinta. Hampir saja dia lupa menemukan pasangan untuk dicintai dan yang sungguh mencintainya. Itulah Ramy yang selalu berharap menemukan cinta sejati, cinta karena ketulusan, bukan kenikmatan dunia semata.
Bicara cinta, Ramy punya prinsip. Cinta itu soal rasa, bukan soal kenikmatan yang selalu diukur dengan materi. Itulah Rami, pria sederhana yang selalu memegang teguh nilai dan tradisi keluarganya, memegang nilai-nilai kesederhanaan dan kejujuran dalam segala macam hal, dalam situasi dan kondisi apapun. Walau terkadang kejujuran sangat menyiksa.
Cinta bukan soal harta, tapi perasaan yang tulus. Ini bukan slogan belaka. Selain Rami, Jeny (25), putri tunggal seorang pemilik perusahaan ternama di Jakarta juga menghayati cinta tanpa kepalsuan. Dia mendambakan seorang pria yang mencintai dirinya, bukan warisan keluarganya. Itulah nilai cinta yang sesungguhnya, tak ada alasan lain, hanya cinta, dicintai, dan mencintai. Itulah alasan Jeny masih menolak pria-pria yang mencoba mendekatinya. Dia hanya butuh seseorang yang percaya, setia, tepat janji, dan siap berkorban. Bahkan nyawa taruhanya.
Ramy hanya putra kedua dari pasangan petani kecil, sedangkan Jeny lahir di tengah keluarga dengan segala macam keberadaan materi dan popularitas duniawi. Mereka begitu berbeda dari sisi latar belakang keluarga, tapi tidak dengan cinta. Mungkin saja sudah ditakdirkan, atau memang suatu kebetulan. Tidak perlu diperdebatkan. Ini tentang hati dan nilai-nilai luhur yang hadir dalam pribadi mereka masing-masing. Sudah terlahir dan tidak akan berubah, apapun persoalanya.
Ramy dan Jeny sama-sama kuliah, tapi tentu beda universitas. Suatu ketika mereka dipertemukan pada sebuah kegiatan “Bakti Sosial Peduli Pendidikan Bagi Anak Terlantar”. Mereka tidak berbeda, justru sama dalam hal ini. Perkenalan pun dimulai. Bagaikan air mengalir, tanpa menyinggung latar belakang keluarga, obrolan mereka tanpa hambatan. Ramy dan Jeny hanya bercerita bahwa mereka sangat mencintai anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan secara layak, mereka sama, peduli masalah sosial. Hati dan perasaan mereka bagaikan pinang dibelah dua, sama. Itu saja.
Perkenalan terus berlanjut, semakin dekat, akrab seiring banyaknya kegiatan sosial yang mereka ikuti bersama, mewakili kampus masing-masing. Perasaan yang tulus di antara keduanya tak kuasa disebunyikan, semakin kuat dan tak mampu di pendam. Tak kuat dikendalikan. Ya, orang-orang baik. Tulus. Tak ada kata-kata romantis, hati mereka seperti saling bersentuhan. Dan akhirnya mereka sadar bahwa mereka saling mencintai. Cinta yang tulus, tanpa abu-abu kenikmatan akan materi. Mereka akhirnya jadi sejoli, sepasang kekasih yang saling mencintai. Bagai Romeo dan Juliet, bahkan lebih.
Jeny sadar jika Ramy hanya seorang buruh kasar biasa. Begitupula Ramy yang tau bahwa Jeny adalah putri pemilik perusahaan tempatnya memperoleh penghasilan untuk biaya kuliah dan sekolah kedua adiknya. Jeny itu putri pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Tidak jadi soal, cinta jalan terus, lain urusanya, walau sering dapat cemoohan.