Long life learning. Begitulah slogan bagi profesiini. Dan itu diperlihatkan dengan jelas kepada kami oleh sang guru, Prof. Dr. Indropo Agusni, dr. Sp. KK (K).
Awal memasukistase dokter muda (biasa disebut koass), saya mendapat keberuntungan untuk terlebih dahulu menimba ilmu di Departemen Kesehatan Kulit & Kelamin. Mengapa saya sebut beruntung? Karena menurut cerita dari kakak kelas, stase ini relatif tidak capek dibanding yang lainnya meskipun dalam hal kelulusan sangat memperhatikan attitude.
Di sinilah saya mulai merasakan kehidupan seorang dokter dan lingkungan rumah sakit. Dimana saya harus berinteraksi langsung dengan pasien, dosen, PPDS (residen), perawat serta paramedis dan karyawan lain.Mulai berhadapan dengan berbagai macam tipe orang, merasakan bagaimana harus ‘jaga’ di salah satu ruangan di rumah sakit dan mengobservasi pasien. Semua itu tidaklah mudah. Sampai-sampai saya bertanya lagi ke hati nurani saya, “Sudah tepatkah pilihan saya untuk memilih menjalani profesi ini?” karena sungguh. Apa yang saat ini saya jalani, sama sekali tidak terpikirkan ketika saya masih SMA yang dengan semangat yang menggebu menginginkan profesi ini.
Di stase ini pula saya semakin memahami diri saya, bahwasanya saya ini sangat mudah sekali kaget, panik, cemas, gelisah dan deg-degan. Meskipun di kulit relatif minim akan kegawatan, akan tetapi ketika ada salah satu pasien yang sesak, saya langsung panik dan serta merta memanggil senior.Padahal seharusnya saya bisa mengatasinya sendiri, tidak perlu sampai panik, gelisah dan deg-degan. Mungkin saya memang tidak cocok dengan hal-hal berbau darurat seperti anastesi, bedah, dan obgyn. Dan rasa-rasanya harus mulai belajar yoga agar bisa mengatasi deg-degan saya. /=D
Saya masih ingat salah satu joke seorang dokter kulit ketika memberi kuliah saat semester 6. “Seni yang dilakukan oleh dermatolog adalah memberi suatu penyakit dengan nama latin yang panjang…dan kemudian memberinya steroid topikal”. Tidak sepenuhnya benar, tapi tidak salah juga. Karena memang menurut saya pribadi, nama-nama penyakit kulit relatif susah dihafal :p contohnya saja panu. Dalam bahasa ilmiahnya adalah Pitiriasis Versicolor. Susah bukan? Namun tidak semua penyakit kulit terapinya adalah steroid topikal.Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Seperti penyebabnya, patofisiologinya, luas lesinya, karena setiap orang mempunyai ciri khas yang membuat terapinya juga berbeda. Seni seorang dokter yang sesungguhnya adalah kejelian dalam melihat pasiennya satu per satu sehingga dapat mengetahui apa yang pasien butuhkan. That’s why medicine is an art J
Saya masih ingat, pertama kali bertemu dengan Prof.Indropo adalah ketika beliau mengajar materi Morbus Hansen di semester 6. Beliau sudah terlihat ‘berbeda’. Pertama, karena sebagai seorang dokter kulit, beliau mau menekuni tentang Morbus Hansen (yang oleh orang awam biasa disebut kusta) di jaman sekarang dimana dokter kulit kemungkinan lebih memilih kosmetik. Kedua, cara beliau mengajar sama sekali tidak menunjukkan ke-superior-annya akan tetapi justru memahamkan peserta didiknya.
Pengalaman pertama kali jaga di ruangan kulit, saya dibuat speechless oleh beliau. Saat itu hari Minggu sore sekitar pukul 16.30. Di ruangan rawat inap kulit masuk pasien baru dengan diagnosa Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).Dia memerlukan observasi intensif dari segi vital sign maupun cairan yang masuk dan keluar dari tubuhnya. Saat sedang observasi, tiba-tiba saya melihat Prof.Indropo datang ke ruang rawat inap kulit dan bertanya kepada PPDS yang sedang bertugas jaga tentang kondisi pasien tersebut. Ini hari minggu, weekend, dimana biasanya para senior seharusnya menghabiskan waktu dimanapun kecuali di rumah sakit. Tapi tidak, beliau datang ke rumah sakit dan melihat langsung kondisi pasien. Beliau masih sempat mengajarkan kepada kami, para PPDS maupun dokter muda tentang penyakit TEN. Setelah itu berkata kepada keluarga pasien bahwa harus banyak-banyak berdoa karena penyakit TEN bukanlah penyakit yang ringan, akan tetapi kesembuhannya bisa diusahakan. Beliau juga memotivasi pasien agar tetap bersemangat untuk sembuh, sehingga pasien dapat segera menemani anaknya lagi. Belum habis rasa takjub saya, ibu perawat menambahkan bahwa Prof.Indropo memang sering datang ke ruang rawat inap kulit saat hari libur untuk menjenguk pasien.
Abah saya pernah berkata, “Kamu boleh jadi dokter spesialis apapun kecuali dua bidang. Dokter kulit dan bedah plastik. Karena saat ini, keduanya lebih mengarah kepada hal-hal yang berbau kosmetik” but I think, this Professor really inspire me to be a dermatologist just like him J.Thank you, Professor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H