Lihat ke Halaman Asli

Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Diperbarui: 17 April 2022   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkawinan adalah suatu perbuatan atau fakta hukum yang diatur dalam tata aturan perundang-undangan. Perkawinan dapat dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, yang mana sudah diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dipertegas dengan pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lalu dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dan pasal 5 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan tersebut harus dicatatkan menurut perundangan-undangan yang berlaku. 

Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa Dan Madura, dan KHI pasal 5 ayat (2). 

Ketentuan-ketentuan tersebut mengharuskan perkawinan dilaksanakan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (pasal 6 ayat 1 KHI). Hal itu sesuai dengan penegasan di dalam pasal 7 ayat (1) KHI yang menyebutkan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 

Pada pengaduan dan fakta hukum perkawinan yang terjadi selama ini, pentingnya pencatatan perkawinan tidak hanya sekedar ketertiban administrasi saja, akan tetapi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) KHI "agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat", tapi hal tersebut memiliki implikasi terhadap identitas hukum sahnya perkawinan, ahli waris dan identitas anak. 

Politik hukum masih memposisikan pencatatan perkawinan sebagai jaminan ketertiban administrasi dan kepastian hukum bukan untuk keabsahan perkawinan, sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 5 ayat (1) KHI "agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat".

Sementara itu Pasal 100 KUHPerdata menyebutkan bahwa adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan akta perkawinan tersebut. Tanpa adanya akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. 

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan hanya satu-satunya alat bukti keberadaan perkawinan, karena hukum perkawinan agama yang menentukan keberadaan Ketua Mahkamah Agung saat itu berpendapat bahwasanya kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas itikad baik. 

Sedangkan Prof.DR.Mahfud MD, SH, menyatakan bahwa perkawinan Sirri tidak melanggar konstitusi, karena dijalankan berdasarkan akidah Agama yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline