Lihat ke Halaman Asli

Penyakit Hati

Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa pakar kesehatan sering memberi nasehat, agar bisa betul-betul hidup sehat kita perlu melakukan 3 jenis olah. Olah makan, olah raga dan olah fikir atau olah hati. Olah makan artinya menjaga asupan makanan, bukan hanya bergizi tetapi juga tidak berbahaya bagi tubuh. Olah raga artinya melakukan aktivitas phisik yang teratur, cukup dan sesuai dengan kondisi badan dan usia kita. Olah fikir lebih banyak tentang bagaimana hati, fikiran dan jiwa kita menyikapi apa yang terjadi disekeliling kita secara positif. Ketiga olah ini harus dikelola secara seimbang.  Ketimpangan di salah satu satu olah bisa membuat hidup kita tidak sehat alias sakit. Kedua olah yang pertama, olah makan dan olah raga, tidak akan saya bahas karena relatif mudah dikerjakan. Banyak buku dan tulisan yang mengupas kedua olah ini. Dalam tulisan singkat ini, saya hanya akan membahas masalah olah fikir atau olah hati dengan harapan kita tidak berlama-lama menderita penyakit hati.

Didalam kehidupan manusia dikenal dua macam penyakit, penyakit jasmani dan penyakit rohani atau penyakit hati. Penyakit jasmani seperti : batuk, pilek, masuk angin, darah tinggi, asam urat, diabetes, gagal ginjal dls. Penyakit hati, yang sakit bukan hati atau levernya, tetapi jiwanya. Dalam pengajian-pengajian yang sering disebut-sebut sebagai penyakit hati antara lain : sombong, iri, dengki. Sebetulnya lebih banyak lagi jenis-jenis penyakit hati, nati akan kita kupas lagi dibelakang. Apa bedanya antara kedua macam penyakit tersebut?  Pertama, penyakit jasmani, umumnya orang lain tidak tahu tapi diri kita sendiri tahu. Kalau kita sedang batuk, pilek atau flu mungkin dapat segera diketahui orang lain. Tetapi teman-teman kita  tidak akan tahu apakah gula darah kita tinggi, tekanan darah masuk ke golongan hyper, atau cholesterol kita sudah diatas ambang batas normal, kalau tidak kita beritahu.  Sebaliknya, penyakit hati, mungkin orang lain (sudah lama) mengetahui tetapi (celakanya) kita sendiri tidak pernah menyadari. Orang yang sombong tidak pernah menyadari atau mengakui kalau dirinya sombong, walaupun seluruh dunia tahu kalau dia sombong. Orang yang irian, tidak pernah merasa kalau dihatinya penuh dengan kedengkian, walaupun teman-temannya mudah mendeteksi kalau dia selalu iri dan dengki. Menjadi semakin parah, karena teman-teman dekatnyapun tidak berani memberitahu bahwa dia menderita penyakit hati. Kedua, penyakit jasmani relatif lebih mudah diobati.  Ada obatnya, ada dokternya, tinggal mengikuti nasehat dokter dengan disiplin, bisa sembuh. Sedangkan penyakit hati tidak ada dokter maupun obatnya. Terapis atau psikolog hanya bisa menyarankan, akhirnya yang bisa mengobati hanya diri kita sendiri.

 Mendeteksi penyakit hati.

Disamping yang telah saya singgung diatas, termasuk dalam kelompok penyakit hati adalah : takabur, curigation (selalu curiga), suka pamer, selalu kawatir (paranoid), suka ngrasani, selalu berfikiran negatif, merasa benar sendiri, dendam kesumat. Walaupun pada umumnya penyakit hati sering tidak dideteksi oleh penderitanya sendiri, namun beberapa penyakit hati mudah dikenali. Salah satunya adalah penyakit iri dan dengki. Iri sudah menjadi sifat dasar manusia. Semua orang mempunyai rasa iri. Iri melihat temannya sekolahnya maju, iri melihat rekan sekerjanya mendapat promosi, iri melihat tetangganya rumahnya lebih bagus. Tetapi sisi postifnya, iri juga juga membuat kita lebih maju karena memacu semangat berkompetisi. Iri memdorong kita untuk belajar lebih rajin, bekerja lebih giat, hidup lebih hemat, agar bisa seperti teman-teman kita yang lain.

Iri menjadi penyakit kalau sudah sampai pada tingkatan : susah kalau melihat orang lain senang, senang kalau melihat orang lain susah (menderita). Ini yang disebut iri plus dengki. Melihat tetangganya beli mobil baru geramnya bukan main. Setiap pagi ketika mendengar tetangganya memanasi mobilnya, terasa seperti ada pisau yang menusuk-nusuk ulu hatinya. Sebaliknya ketika mendengar tetangganya mobilnya tabrakan, bersorak, senangnya bukan main. Kalau boleh, mungkin dia akan merayakan dengan pesta makan-makan. Orang dengan karakter seperti ini biasanya lebih banyak melihat keatas, orang yang dia anggap lebih berhasil dari dirinya. Jadi, hidupnya akan lebih banyak susahnya, atau hatinya lebih banyak sakitnya, karena selalu mempunyai anggapan bahwa lebih banyak orang beruntung ketimbang dirinya.

Penyakit hati yang lain adalah rasa kawatir  sesuatu yang buruk akan terjadi. Seperti halnya iri, rasa kawatir adalah manusiawi dan universal. Tidak perduli apakah dia pensiunan kecil atau direktur utama bisa dihinggapi rasa kawatir. Rasa kawatir juga tidak mengenal batas suku, ras, agama. Orang Amerika yang sudah maju dan relatif kaya atau rakyat kita yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan, semuanya sama mempunyai rasa kawatir. Sisi baiknya, kawatir sesuatu yang buruk akan terjadi membuat kita hati-hati dan waspada. Kekawatiran yang berlebihan yang membuat  hati kita selalu sakit, resah dan tidak tenang.  Sumber kekawatiran macam-macam, antara lain : kawatir anaknya celaka diperantauan, kawatir rumahnya dirampok orang, kawatir suaminya pacaran lagi, kawatir tidak bisa makan sesudah pensiun, kawatir anaknya tidak dapat jodoh, kawatir tidak diangkat lagi jadi direktur.

Saya melihat satu keluarga  yang walaupun sudah pensiun tetapi secara materi hidupnya boleh dikatakan tidak pernah kekurangan. Hartanya mungkin cukup untuk hidup sampai tujuh turunan. Namun nampaknya dia tidak bahagia, dan selalu resah karena rasa kawatir yang berlebihan. Walaupun kaya, dia merasa selalu kawatir hartanya akan habis. Akibatnya, cara hidupnya sehari-hari amat sangat ngirit, yang sebetulnya kurang pantas untuk orang selevel dia. Setiap meninggalkan rumah selalu kawatir kalau pembantunya dirumah berbuat macam-macam.  Jadi, baru sebentar datang di tempat acara sudah bingung ngajak pulang. Ketika harus meninggalkan rumah untuk beberapa hari, setiap malam tidak bisa tidak bisa tidur takut rumahnya kemasukan maling. Di hotel setiap jam 2.00 sudah bangun, bukan untuk sholat malam, tetapi ingin cepat-cepat pagi agar bisa menelpon ke rumah.

 Bagaimana mengatasinya?

Untuk kali ini saya hanya akan mengupas  tentang bagaimana mengatasi penyakit iri dan kawatir. Diantara  berbagai penyakit hati, iri dan dengki termasuk yang sulit diobati. Jarang sekali ada orang yang mau mengakui kalau dirinya menderita penyakit iri.  Karena iri sudah menjadi bagian dari sifat manusia, maka lebih baik pendekatannya : Bagaimana kita semua mengatasi rasa iri yang berlebihan? Agama Islam, saya kira juga agama-agama lain, mengajari kita untuk selalu pandai bersyukur.  Bersyukur lebih mudah diucapkan daripada dijalankan. Bersyukur ketika mendapat  kesenangan mudah dilakukan. Bagaimana kita masih bisa bersyukur (dan tidak iri) melihat teman seangkatan diperpanjang masa jabatannya sedang kita sendiri diberhentikan?  Bagaimana masih bisa bersyukur kalau teman-teman memperoleh TAKES 25 juta sedang kita sendiri hanya mengantongi 5 juta? Cara yang paling mudah , walaupun terdengar klise,  adalah jangan terlalu sering melihat keatas, tetapi lebih banyak melihat kebawah. Masih jauh lebih banyak orang yang kurang beruntung dibanding kita. Dalam agama Islam bersyukur berfungsi sebagai “survival mechanism” yang sangat efektif, yang membuat kita tetap tegar, eksis, dan tidak mudah terkena penyakit hati.

Bagaimana mengatasi rasa kawatir yang berlebihan? Yang ini relatif lebih mudah. Orang biasanya tidak akan tersinggung kalau dikatakan mempunyai rasa kawatir yang berlebihan. Orang seperti ini juga biasanya mudah “curhat” kepada teman kalau dia sering kawatir tentang segala macam. Pertama-tama kita ajak dia membuat daftar apa-apa yang selama ini dia kawatirkan selama 6 bulan terakhir. Mungkin bisa terkumpul puluhan item. Kemudian dari daftar tersebut di-contreng mana-mana item yang betul menjadi kenyataan. Ternyata hanya 1 atau 2 yang menjadi kenyataan, atau bahkan mungkin tidak ada yang benar-benar terjadi. Jadi, selama ini kekawatiran tersebut sebenarnya tidak beralasan. Jadi selama ini dia hanya membuang-buang energi untuk memikirkan hal-hal yang menakutkan, yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Cara kedua, sering-sering mengajak dia untuk menengok keluarga-keluarga yang infrastruktur rumah tangganya jauh dibawah klasnya, tetapi hidupnya bisa tenteram dan tidak pernah merisaukan masa depannya. Sekian dulu renungan hari ini, mudah-mudahan ada manfaatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline