Kalau dulu saya boleh memilih, tentu saya akan memilih pensiun di daerah. Misalnya di Solo, kota kelahiranku, atau di Jogya, dimana komunitas pensiunannya cukup banyak dan guyub. Tetapi rumah sudah terlanjur disiapkan di Jakarta, dan anak-anak sekolah dan kerja di Jakarta semua. Jadi, putusan diambil untuk pensiun di ibukota ini. Tidak terasa sudah 13 tahun saya meninggalkan BRI dan hidup dengan segala hiruk pikuknya di kota metropolitan ini. Namun semakin hari saya merasakan kualitas hidup di Jakarta semakin memburuk. Jalanan yang selalu macet, udara yang semakin kotor oleh asap kendaraan, bahaya banjir dan rasa was-was masalah keamanan. Ini tidak hanya berlaku untuk masyarakat klas bawah saja, tapi juga untuk mereka yang masuk golongan berduit. Kemacetan lalu lintas, polusi udara, keamanan dijalan maupun dilingkungan, sampai bahaya banjir, semuanya tidak dapat dihindari dengan uang.
Untuk menghindari kepenatan dan ke-sumpeganserta ganti suasana dari waktu ke waktu saya selalu pergi kedaerah. Untuk tahun ini saya sudah 2 kali ke Solo, Jogya dan Tasikmalaya. Bulan Maret yang lalu saya ke Solo untuk nyekar , namun karena di Solo sudah tidak ada teman saya hanya sebentar di sana. Selesai nyekar dan menengok kakak saya, langsung ke Jogya. Di Jogya banyak teman-teman yang baik-baik dan selalu ngangeni untuk ditemui. Bulan Juni kemarin saya ke Semarang, Solo dan terakhir ke Jogya sebelum kembali ke Jakarta. Didaerah saya merasakan masih ada kedamaian, udara lebih bersih, jalanan belum begitu macet dan apa-apa masih murah. Karena hobi saya jajan, maka kriteria lebih murah selalu menggunakan harga-harga makanan sebagai pembanding.
[caption id="attachment_273314" align="aligncenter" width="435" caption="Soto Kudus mBak Lin (Dok pribadi)"][/caption]
Sudah agak lama saya tidak ke Semarang, mungkin ada 5 tahunan. Dikereta (saya sering menggunakan KA) menjelang sampai setasiun Tawang saya sempat ngobrol dengan seorang ibu, yang orang Semarang, soal cari tempat makan. Biasanya kalau ke Semarang sasaran pertama adalah soto yang legendaries, yaitu soto Bangkong, sekalian nostalgia waktu mahasiswa dulu. Tapi menurut ibu tadi sekarang soto Bangkong sudah tidak enak lagi, sebagai alternatifnya dia menyarankan soto Kudus mBak Lin. Rekomendasi ibu tadi rupanya tidak salah. Sotonya memang enak, sedikit lebih kental dan lebih gurih dari soto Bangkong. Mangkoknya agak kecil. Kalau 1 kurang tapi kalau 2 kekenyangan untuk ukuran saya. Tapi kita bisa pesan separo. Makanan pelengkapnya macam-macam : ada perkedel, tempe goreng, otak, sate telor, sate kerang. Saya makan bertiga dengan sopir, setelah selesai, saya siapkan uang Rp100.000,-, Rupanya uang saya tidak laku, karena hanya habis Rp40.500,-. Jadi soto semangkok hanya dihargai 6 ribu, makanan kecil antara 1 – 3 ribu. Saya coba bandingkan dengan soto Kudus yang biasa saya beli di pasar modern Bintaro, Jakarta, saya harus membayar Rp12.000 per mangkok. Untuk yang penasaran ingin mencoba, soto mbak Lin terletak didekat simpang lima persis didepan RS Telogorejo.
[caption id="attachment_273315" align="aligncenter" width="394" caption="Bakmi pak Gareng, Wotgandul Semarang (Dok pribadi)"]
[/caption]
Malam harinya sebelum berwisata kuliner lagi, saya tanya Yono, sopir saya pinjaman dari BRI : “Yon, sekarang sampeyan kepingin makan malam dimana? Nanti saya anter.” Biasanipun tamu-tamu BRI dipun ajak dateng bakmi pak Gareng pak.” Bakmi pak Gareng ini bakmi Jawa yang dimasak diatas anglo satu-satu, jadi harus sabar menanti. Juga harus sabar menunggu mendapatkan tempat duduk, karena tempatnya sempit hanya ukuran kira-kira 5 X 10 m untuk tempat masak sekaligus tempat makannya. Disamping menyajikan segala jenis bakmi juga menyediakan sate ayam dan sate usus. Favorit saya selalu bakmi goreng campur. Bakminya memang enak, hanya rasa mericanya agak terlalu nendang. Ini mungkin karena maag saya agak sensitif terhadap merica. Saya biasa makan bakmi Jawa di Jakarta harganya antara 20 ribu sampai 25 ribu per porsi, jadi saya antisipasi kira-kira saya harus mengeluarkan uang 70 ribuan. Ternyata cukup membayar Rp44.000 untuk 3 orang, sudah termasuk minuman dan kerupuk. Bakmi pak Gareng terletak Jl. Wot Gandul Dalam No. 173 Semarang. Ancer-ancernya dari simpang lima ambil Jl Gajahmada. Didepan Akademi Theresiana ada jalan kecil masuk, sekitar 200 m dari sana kalau banyak mobil-mobil parkir tidak salah lagi disitulah tempatnya. Bakmi ini juga buka cabang di Food Court Mal Ciputra Semarang Lt. 1, tapi menurut saya tetap lebih mak nyuus di tempat yang di gang.
Dari Semarang saya meneruskan perjalanan ke Solo untuk nyekar. Di Solo saya tinggal ditempat kakak saya, di Baturan, dikanan jalanmenuju Bandara Adisoemarmo kalau dari arah Manahan. Kakak saya pensiunan guru SMA dan juga menikmati pensiun janda (almarhum suaminya dulu pembantu rektor UNS). Dia tinggal sendiri, karena anak-anaknya sudah mentas semua. Saya coba hitung berapa biaya hidupnya. Karena tidak ada pembantu dia hanya masak nasi saja, sedang lauknya rantangan Rp11.000 per hari. Bayar listrik 200.000, telpon tidak pernah lebih 100.000. Tidak perlu bayar TV kabel atau internet segala. Jelas dengan dua sumber penghasilan itu lebih dari cukup untuk hidup sehari-hari. Wah kalau saya hidup di Solo berdua saja dengan istri bisa banyak lebihnya. Sebagaimana biasanya pagi-pagi sekali, sekitar jam 05.30, kakak sudah siap-siap untuk mencari sarapan, nasi liwet. Katanya kalau siang sedikit sudah kehabisan. Nasi liwet di Baturan, dengan telor utuh hanya dihargai Rp5.000. Di Bintaro, telornya hanya separo, saya harus merogoh kocek sampai 12 ribu.
[caption id="attachment_273317" align="aligncenter" width="409" caption="RM mBah Semar, Ngabean Kartosuro (Dok pribadi)"]
[/caption]
Di Solo sebetulnya saya sudah merencanakan untuk mencoba “soto gerabah” yang banyak dibicarakan orang didunia maya, tetapi Yayak, ponakan saya, mengajak makan ke tempat lain. Dia memaksa saya mencoba garang asem mBah Semar, yang katanya top markotop. Rumah makan ini menyajikan berbagai macam masakan, antara lain soto, selat Solo, bakmi, namun nampaknya menu andalannya garang asem.Saya sudah sering makan garang asem tapi yang satu ini memang berbeda. Kuahnya tidak terlalu kental, asemnya pas, dan tidak pedas. Didalamya diberi irisan cabe kecil-kecil, sehingga bagi yang suka pedas bisa menyesuaikan sendiri.
Rumah makan ini, sudah puluhan tahun berdiri, kalau melihat kondisi bangunanya yang sangat kuno sekali dan tidak pernah mendapat sentuhan renovasi. Didalamnya dipasang patung Semar dari kayu yang masih terawat baik. Saya kurang tahu apakah hanya sekedar hiasan atau bagian dari mascot penglarisnya. Saya datang sekitar jam 14.00 dan tempat duduk sudah hampir penuh. Saya termasuk beruntung karena tamu berikutnya yang akan memesan garang asem sudah kehabisan. Saya kurang tahu persis berapa habisnya, tapi pasti murah. Rumah makan ini terletak di desa Ngabean, Kartosuro. Kalau anda dari Jogya atau Semarang, begitu masuk Kartosuro ketemu lampu merah pertama belok kekiri arah bandara Adi Soemarmo. Kurang lebih 200 – 300 meteran disebelah kanan terlihat rumah tua dengan tulisan besar Rumah Makan mBah Semar.
[caption id="attachment_273318" align="aligncenter" width="444" caption="RM Bu Ageng. penulis bersama Pak Bambang Setiari , Tirtodipuran Jogyakarta (Dok pribadi)"]
[/caption]
Di Jogya saya sudah lama kepengin nyoba rumah makan Bu Ageng, milik Butet Kartarejasa. Jadi, untuk makan siang saya putuskan untuk makan di restoran ini. Tempatnya di Jl Tirtodipuran no 13, jalan kearah Bantul. Dalam promosinya menawarkan masakan omahan dengan nama yang aneh-aneh seperti: nasi campur lele jingkrung, nasi campur baceman kambing, eyem penggeng (maksudnya ayam panggang), ayam nyelekit (karena pedhes banget), bubur blekoh rasa duren. Saya setuju dengan promosinya masakan omahan, karena memang enak serasa makandirumah sendiri. Interiornya didesain artistik sekali dengan hiasan perabot dan foto-foto tua. Untuk ukuran Jogya harga makanannya agak sedikit mahal, namun untuk ukuran Jakarta tetap lebih murah. Saya ber-enam sudah termasuk minum dan makanan penutup tidak sampai menghabiskan 300 ribu.
Malam harinya sebetulnya ingin mencoba gudeg pawon, namun katanya bukanya malam sekali jadi saya urungkan niat saya takut merepotkan yang nganter. Sebagai gantinya saya berburu gudeg di sentra gudeg Wijilan. Disana area tersebut terdapat kurang lebih 10-an warung gudeg, jadi agak sulit juga menentukan pilihan. Akhirnya pilihan jatuh ke gudeg Bu Lies, karena kelihatan agak ramai dan ada live music-nya. Rupanya salah pilih, karena kualitas nasinya kurang bagus dan ayamnya agak keras. Saya tidak tahu kalau dideretan itu juga ada gudeg Yu Jum. Seharusnya saya kesana.
Jalan-jalan ke daerah membuat saya menghargai dan mensyukuri uang pensiunku. Di Jakarta peniunku habis untuk bayar listrik, PAM, IPL, keamanan, TV kabel dan sambungan internet. Di daerah banyak yang bisa saya beli. Dalam setiap kunjungan saya ke Jogya saya selalu ditemani pak Bambang Setiari, yang dengan setia mengantar saya kemana saja. Beliau ini pensiunan BRI yang pernah sukses sebagai petani bunga, sekarang beralih menjadi pengusaha kos-kosan. Terima kasih pak Bambang, lain kali kita berburu kuliner lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H