Hari Guru Nasional (HGN) telah lewat. Ya, tanggal 25 November lalu. Tapi kesannya masih ada. Sampai kini.
Pulang sekolah saya menuju parkir motor. Belum sampai lokasi, dua siswi dari kelas 8E mencegat. "Pak, ini untuk Bapak," ujarnya.
Di tangannya ada kotak kue lapis Surabaya ukuran mini. Tersembul ucapan 'Selamat Hari Guru' diberi hiasan pita di pinggirnya. "Mohon maaf Pak, baru bisa memberi hari ini," kata siswi satunya.
Saya sebenarnya sungkan menerimanya. Ada perasaan campur aduk. Jika tidak diterima, maka nanti mereka kecewa. Jika diterima, apakah nanti tidak masuk pamrih, gratifikasi dsb.
Diterima pun, ketika hadiah dibawa ke ruang guru, seolah yang mendapat banyak hadiah adalah guru favorit. Nanti jadi ujub, terlalu membanggakan diri. Masuk zona nyaman, tidak mau belajar.
Padahal belum tentu seperti itu. Keinginan memberi hadiah di hari guru harus ditanyakan secara esensi. Apa makna pemberian tersebut. Jangan-jangan mereka memberi hadiah, karena takut dimarahi, wkwk..
Seumur-umur saya dulu tidak pernah memberi hadiah pada guru. Mulai TK, SD, SMP, hingga SMA. Apakah dulu memang tidak membudaya. Atau karena memang alumnus sekolah pinggiran. Jadi tradisi memberi hadiah belum ada.
Seingat saya dulu pernah memberi hadiah pada guru. Tapi bukan di momen hari guru. Tapi sebagai ungkapan terima kasih. Karena sudah mendapat ranking di kelas 2 SD. Yang diberikan juga bukan kue. Tapi buah yang dibeli dari pasar.
Semakin dewasa, maka saya memaknai pemberian hari guru bukan hanya pada pendidik di sekolah formal. Siapapun dia, baik itu guru ngaji, guru menulis, hingga guru kehidupan, perlu kita beri apresiasi.
Apreasiasinya juga bukan hanya saat momen HGN. Sebanyak kita diberi rezeki Allah. Seperti saat dapat TPP. Tanpa jasa para guru tersebut, kita belum tentu bisa berpijak di posisi saat ini.
Terima kasih Cik Gu. Selamat Hari Guru (meski sudah telat ).