Lihat ke Halaman Asli

Choirul Huda

TERVERIFIKASI

Kompasianer sejak 2010

Pengalaman Hari Pertama Mengantar Sekolah Setelah 18 Tahun

Diperbarui: 24 Juli 2016   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hormati gurumu, sayangi temanmu...

18 tahun bukan waktu yang sebentar. Dalam periode itu, Indonesia sudah memiliki enam presiden berbeda. Sementara, di dunia olahraga, kurun waktu tersebut, Juventus belum juga menjuarai Liga Champions dengan berujung tiga kali sebagai runner-up.

Di sisi lain, bagi saya, 18 tahun dilewati dengan penuh warna. Tepatnya, mulai dari masa kanak-kanak hingga mayoritas rekan seangkatan sudah memiliki anak. Tanpa bermaksud menumbuhkan sisi sentimentil, tapi periode dua windu lebih dua tahun itu itu memang tidak hanya digoreskan secara hitam atau putih saja.

Itu saya alami ketika kali pertama dalam 18 tahun terakhir menginjakkan kaki di Sekolah Dasar (SD) tampat saya menempuh pendidikan. Momentum itu terjadi setelah saya mengantar adik paling kecil yang kini sudah kelas satu SD.

*       *       *

PAGI itu, suasana di ruas jalan utama ibu kota yang menghubungkan dengan provinsi Banten sudah ramai. Padahal, saya melirik arloji di tangan kiri baru menunjukkan jarum pendek ke angka lima dan jarum panjang ke angka sembilan. Tapi, padatnya lalu lintas bisa dipahami mengingat ketika itu merupakan hari pertama masuk sekolah.

Kebetulan, saya diminta ibu saya untuk menemaninya mengantar si kecil bersekolah. Sebab, lokasinya lumayan jauh dari rumah dan melewati jalan raya yang banyak kendaraan yang membuat adik saya paling bungsu itu harus diantar-jemput dengan sepeda motor. 

Singkat kata, setelah berpeluh ria karena macet, saya, ibu, dan adik tiba di depan gerbang. Sekilas, tidak ada yang banyak berubah dalam durasi 18 tahun sejak saya terakhir kali berada di sana. Saat itu, hanya ada beberapa tambahan ornamen seperti papan penunjuk sekolah yang kini sudah berdinding marmer dibanding dulu masih memakai kayu. Serta, berjejer aneka sepeda motor di lapangan yang seingat saya dulu nyaris tidak ada.

Kami pun menuju ruangan kelas di lantai dasar untuk memilih bangku terdepan agar si kecil bisa menyimak pengajaran dari gurunya langsung. Sambil melewati lorong panjang di lantai bawah gedung yang dibangun era gubernur Wiyogo Atmodarminto itu, seketika membuat saya terbawa pada kenangan ketika Pikachu dan kawan-kawan masih aktif di Game Boy hingga kini tersebar luas di berbagai sudut ibu kota.

Ya, dulu, lorong itu tempat saya berlari-larian bersama beberapa teman sekelas. Baik itu main petak umpet, dampu, tak benteng, hingga sepak bola dari plastik. Berbagai kenangan seperti itu yang menumbuhkan ingatan saya ke masa lalu. Terutama saat masuk kelas yang dulu bangku dan mejanya sangat besar, sekarang saya rasakan jadi sempit.

Itu saya alami saat menunggui adik saya dari luar jendela seusai upacara bendera hari pertama. Pada saat yang sama, ibu saya dan orangtua murid lainnya sedang mengikuti rapat dengan Kepala Sekolah untuk membahas aturan dan tata tertib di sekolah tersebut.

Nah, ketika asyik mengamati momen perkenalan adik saya dengan teman sebangkunya, saya merasa ada yang mengawasi saya dengan sorot menyelidik. Tentu, saya bingung ditatap seperti itu oleh pria paruh baya yang menggunakan seragam guru. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline