[caption id="attachment_241602" align="aligncenter" width="500" caption="Goenawan Mohamad (Salihara.org)"][/caption] Beberapa hari lalu, usai membuat sebuah tulisan sedikit tentang Pramoedya Ananta Toer, seorang kawan sempat berkomentar melalui pesan di media sosial, Facebook. Beliau yang sedang dinas di luar negeri, menyebut salah satu sastrawan besar selain Pramoedya saat ini, adalah Goenawan Mohamad. Mendapat jawaban seperti itu, tentu membuat saya kaget sekaligus bingung. Sebab, apa yang saya tahu sebelumnya, GM -panggilan Goenawan Mohamad- bukan sastrawan, budayawan atau lainnya, meski beberapa kali menelurkan karya sastra. Melainkan, GM seorang jurnalis senior, yang sejak dulu dikenal sebagai salah satu pemimpin redaksi majalah terkemuka, Tempo. Namun, kawan saya yang aktif bergelut di bidang informatika itu, keukeuh mengatakan GM merupakan sastrawan. Titik. Karena penasaran dengan argumen dari sosok yang usianya dua kali lipat itu, terpaksa saya mengiyakan, sambil menanyakan referensi lebih lanjut tentang GM. Termasuk riwayat pembredelan Tempo pada 21 Juni 1994, terutama gaya penulisan Catatan Pinggir (Caping).
* * *
Entah bagaimana, sejak awal dekade 2000-an, ketika iseng-iseng membaca Tempo yang kerap dibeli Ayah dan membandingkan isinya dengan majalah remaja favorit saya saat itu, Hai. Hingga kini, saya masih belum begitu memahami isi sepenuhnya dari Caping, meski sudah lewat belasan tahun lamanya. Beda lagi jika saya membaca kolom dari dua jurnalis favorit, yang meski harus berpikir lebih lanjut, tapi lebih mudah dicerna, Sindhunata dan Budiarto Shambazy. Jika Shindunata lebih luwes mengulik artikel sepak bola, dengan memadukan sisi humanisme, terutama saat berlangsungnya turnamen akbar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa. Sementara, untuk nama terakhir, tentu saya menyukai "sajian" politik yang kerap hadir di halaman 15 harian Kompas. Bahkan, saya sempat dua kali bertemu dengannya saat menghadiri acara Big Baz, tahun 2011. Pasalnya, yang saya tahu tentang Tempo hanya satu, ulasan investigasi mendalam dan kerap bikin heboh masyarakat. Terutama, pejabat yang sering "disentil" hingga memerah mukanya. Itu karena Caping selalu berisi hal-hal yang sangat diluar dugaan dan tidak berkaitan dengan keseluruhan dari isi Tempo. Sebut saja, Caping berjudul "Tertawa" yang saya kutip dari edisi 29 April. "Ada sebuah cerita yang saya temukan di Internet dan saya ubah di sana-sini untuk pera pembaca: Pada suatu hari di Slovenia, seorang atheis sedang joging di hutan. Ia menikmati hijau pohon-pohon seraya tubuhnya bergerak di udara pagi. Tiba-tiba ia dengar suara mengaum. Ketika ia menengok, ia lihat seekor singa besar (dan tampak lapar) mengejarnya. Ia lari, menerabas semak. Tapi malang tak dapat ditolak: ia tersungkur di sebuah sudut. Singa itu pun tegak di dekatnya bersiap menerkam. Putus asa total, si atheis sadar: hanya Tuhan yang bisa menyelamatkannya. Ia insaf. Ia berdoa: "Ya, Tuhan, bebaskan aku dari hewan buas ini. Jadikanlah ia makhluk yang kristiani." Tiba-tiba hutan bercahaya selama 30 detik. Mukjizat terjadi. Tokoh kita tahu, doanya dikabulkan.Dan terdengarlah suara singa itu, takzim: "Bapa kami yang ada di Surga, terpujilah nama-Mu. Telah Kauberi aku santapan pagi yang lezat."
* * *
Selesai membaca, membuat saya mengernyitkan dahi sampai terdiam beberapa saat, kendati setelahnya lega saat GM memberi keterangan lebih lanjut. Pria yang identik dengan cerutu pada fotonya di laman wikipedia itu, menegaskan tulisan tersebut tidak bermaksud sebagai lelucon maupun olok-olok belaka. Melainkan GM menyebut seorang atheis atau agamais bukanlah sosok yang ganjil. Namun, cerita tersebut selalu saja ada di kehidupan sehari-hari meski tidak seluruhnya sama. Dalam buku Cerita Di Balik Dapur Tempo, yang saya dapat "pinjam" dari kawan Kompasianer saat menyaksikan nonton bareng Barcelona versus Bayern Muenchen, Kamis (2/5), ditegaskan, bahwa Caping itu bukan tajuk rencana dari Tempo. Namun, Caping ibarat medan pertarungan antara GM dan dirinya sendiri. Sebab, Caping tidak bisa ditebak isinya dan sama sekali tidak berkaitan dengan aktualitas, yang membuat semua orang tak tahu persis apa yang ditulis GM setiap pekannya. Tentu, membaca buku setebal 300 halaman itu, membuat saya tambah bingung mengenai arti dari tulisan Caping tersebut. Sama ruwetnya ketika saya kembali mendapat jawaban inbox dari kawan yang kini menetap di kawasan Asia Timur itu, bahwa Caping tidak bisa dimengerti, tapi cukup dipahami karena terdapat banyak tambahan pengetahuan di dalamnya. Benarkah?
* * *
Referensi: - Tertawa, Tempo 29 April - Di Balik Dapur Tempo - Perjalanan 40 Tahun Itu...
* * *
- Jakarta, 5 Mei 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H