Lihat ke Halaman Asli

Choirul Huda

TERVERIFIKASI

Kompasianer sejak 2010

Balimau, Tradisi yang Menuai Kontroversi

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13425542821689908896

[caption id="attachment_188332" align="aligncenter" width="584" caption="Tradisi balimau di kalangan anak dan remaja (dok. pribadi)"][/caption] JAKARTA –  Menyambut bulan suci Ramadhan, bagi sebagian besar umat muslim di berbagai pelosok Nusantara, tentu mempunyai tradisi masing-masing untuk untuk merayakannya. Tidak terkecuali dengan masyarakat di Sumatera Barat, acapkali menyelenggarakan suatu ritual membersihkan diri (mandi) yang disebut balimau. Dalam adat Minang, Balimau adalah sebuah tradisi turun temurun yang merupakan kegiatan seseorang dalam menyambut puasa, untuk membersihkan diri agar membasuh seluruh tubuhnya menggunakan air bersih yang dicampur dengan jeruk atau limau menurut bahasa setempat. Menurut cerita yang saya dengar dari beberapa orang tua di kota Padang, tradisi balimau telah berlangsung lama semenjak abad ke 19. Hanya saja, saat itu tradisi balimau meski dilakukan di sungai yang terbuka, namun tidak bercampur antara kaum laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan saat ini, terutama untuk kalangan remaja ketika makna dari balimau telah bergeser jauh dan mengarah ke ajang hura-hura belaka bahkan cenderung terjebak dengan seks bebas. Saat tinggal di Sumatera Barat tahun 2009 lalu, saya sendiri melihat langsung perbedaan balimau antara orang tua yang membawa keluarganya serta dengan remaja yang kebanyakan sepasang muda-mudi. Ketika itu, satu hari menjelang puasa, saya bersama seorang kawan, berkesempatan pergi ke tempat pemandian umum di kawasan utara kota Padang yang bernama Lubuk Minturun. Waktu itu, sekitar pukul 16 sore, tempat pemandian tersebut telah dipenuhi banyak orang untuk melakukan balimau. Hanya saja, diantara mayoritas yang datang untuk benar-benar mandi atau sekadar membasuh tubuhnya dengan disiram jeruk dan juga beragam bunga yang dapat dibeli di pelataran tempat pemandian, terdapat suatu pemandangan yang sangat kontras. Yakni ketika saya melihat beberapa pasang remaja yang berusia belasan hingga awal dua puluh tahun sedang menikmati "mandi bareng". Meski saat itu masih memakai pakaian lengkap, namun tetap saja terlihat tidak etis karena dilakukan dengan dalih untuk melaksanakan balimau. Atau ketika seorang remaja perempuan di pinggir kolam tampak senang sewaktu difoto temannya dengan menggunakan kamera ponsel. Menyaksikan itu semua, pastinya membuat asumsi orang yang melihatnya berkesan kurang baik. Apalagi setelah mendengar bahwa ritual balimau, bagi kalangan remaja  hanya kamuflase belaka. Sebab, menurut penuturan beberapa pengunjung yang melihat hal itu, banyak dari remaja justru sebenarnya ingin bermesraan bersama pasangannya masing-masing di kolam pemandian tersebut memanfaatkan momen balimau. Jelas saja, apa yang ditakutkan oleh orang tua dan pemuka agama disana menjadi kenyataan. Karena untuk kalangan remaja, tradisi balimau bukan lagi dilakukan untuk mensucikan diri, melainkan ajang hura-hura belaka yang lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Memang tidak semuanya seperti itu, sebagaimana yang disampaikan seorang kawan lama asal Sumatera Barat ketika malam tadi, kami membicarakan tentang perbedaan penetapan hari pertama puasa antara Jakarta dengan di Padang. "Tidak semua orang yang melaksanakan balimau seperti itu. Kalau ada yang ngelakuin seks bebas atau mengumbar aurat saat mandi di sungai, jelas orang itu saklek, alias emang bawaan orok," kata sang kawan. "Masih banyak kami warga asli sini yang berpegang teguh pada ajaran agama dengan balimau hanya sekadar keramas untuk  menyambut puasa yang biasanya jatuh pada esok hari, dan tidak lebih." Seiring dengan perkembangan zaman, tampaknya ritual balimau pun telah berubah tidak seperti dulu lagi. Tanpa bermaksud menyalahkan kaum remaja itu sendiri, sebab masih banyak yang melaksanakan balimau dengan niat sungguh-sungguh. Hanya saja, kurangnya pengawasan dari keluarga dan lingkungan sekitar yang menyebabkan tradisi balimau telah melenceng jauh dari jalurnya. Diharapkan untuk kedepannya, perlu pengawasan dari pihak keluarga dan juga masyarakat sekitar saat berlangsungnya ritual balimau. Setidaknya, agar tradisi turun temurun tersebut tidak punah dalam beberapa tahun kedepan akibat generasi selanjutnya memandang dari sisi negatifnya saja.

*     *     *

Sebelumnya, tentang Sumatera Barat: - Pengalaman Ekstrem di Pedalaman Sumatera - Kawasan Indah Tak Terjamah di Sumatera Barat

*     *     *

Jakarta, 18 Juli 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline