Lihat ke Halaman Asli

Choirul Huda

TERVERIFIKASI

Kompasianer sejak 2010

Porter, Antara Dibutuhkan Kehadirannya Sekaligus Dijauhkan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_150841" align="aligncenter" width="614" caption="Seorang porter dengan memanggul tas di pundak dan menenteng koper ditangan kanannya"][/caption] "Bu, mau saya bantu?" Ucap seorang lelaki berpakaian kuning biru mendekati seorang perempuan setengah baya. "Terima kasih!" Jawab sang Ibu singkat, yang baru turun dari kereta jurusan Cirebon, tepat berada didepan kursi yang saya duduki. Saya pun agak heran juga dengan jawaban sang Ibu yang sambil melengos membuang muka, sangat ketus dan nadanya terlihat kesal. Lelaki yang tadi menawarkan jasanya pun kemudian berlalu, tanpa banyak kata lagi. Sambil menenteng tas dari anyaman, Ibu itu terdengar menggerutu,"Gila kali bawaan dikit seperti ini aja, mesti bayar lima belas, mending kalo jauh. Ini cuma dari lantai atas sampe depan taksi..." Saya yang sedang asyik ngopi sambil terkantuk-kantuk karena lama menunggu kereta, jadi terbangun akibat mendengarkan gerutuan sang Ibu. Lalu, Ibu itu pun kemudian duduk di sebelah saya dengan beda jarak dua kursi. Setelah membereskan plastik kresek bawaannya, sang Ibu pun kemudian berlalu dengan menuruni tangga dengan cepat. Sementara itu, seorang lelaki, yang tadi diacuhkannya saat menawarkan jasa, terlihat sudah sibuk mondar-mandir dengan memanggul beberapa tas koper berukuran besar.

*   *   *

Ternyata orang itu adalah Porter, atau seorang petugas entah itu di Stasiun atau Bandara yang menawarkan jasa membawa barang untuk membantu penumpang yang turun dari Pesawat atau Kereta Api, hingga menuju depan parkiran mobil. Kebetulan, karena saya sendiri belum pernah menggunakan langsung jasa seorang Porter, jadi saya agak kurang mengerti tentang sosok seperti mereka, hingga saat terjadinya percakapan singkat antara porter dengan Ibu tadi. Saat melirik jam, masih pukul 19:50 wib. Berarti masih ada waktu  35 menit lagi, sebelum kereta Argo Parahyangan tiba dan berangkat kembali menuju stasiun Bandung. Karena lapar langsung saja saya turun kembali ke bawah, untuk mencari warung nasi di kantin seberang Stasiun, kebetulan dari sore belum sempat makan. Sebenarnya di lantai dua dan lantai satu, banyak terdapat restoran atau rumah makan, namun karena harganya yang "wah" untuk ukuran saya, jadi saya pun meluangkan waktu mencari-cari di deretan kantin yang menjual makanan. Sebab saya pernah mengalami, saat membayar makanan hingga rp 45.000 hanya untuk seporsi Soto dan nasi plus air teh hangat. Mending beli di warteg, uang segitu bisa dapat 9 bungkus, dengan harga rata-rata rp. 5000, pikir saya saat itu. Usai membeli nasi bungkus, air mineral dan juga kuaci, untuk cemilan di kereta, saya pun kembali ke atas. Di saat hendak memasuki pintu masuk stasiun, terlihat kerumunan orang berpakaian kuning biru sedang berbaris menunggu datangnya kendaraan yang hendak tiba di stasiun. Ada yang sambil berlari, ada yang dengan giat menawarkan jasa, juga ada yang mendekati secara perlahan, sembari kemudian mengangkat sebuah tas untuk dibawa naik ke atas. Oh begitu toh, cara kerja seorang porter. Tanya saya dalam hati, setelah selesai menyaksikan kegiatan mereka. Diperlukan kegigihan dan juga tenaga yang besar supaya dapat mengangkut banyaknya barang bawaan seorang penumpang. Belum lagi, sebelumnya terkadang harus tarik urat dahulu dengan seorang penumpang, seperti yang saya saksikan saat di lantai atas stasiun. Saya perhatikan ada seorang porter yang dengan sigap membawa sekantong plastik besar di tangan kiri, dan koper berukuran jumbo di tangan kanannya. Sementara di belakangnya berjalan seorang Ibu muda bersama seorang anak kecil berusia sepuluh tahunan. Mereka, Ibu dan anak, mengikuti porter itu yang membawakan barang mereka dari taksi yang ditumpanginya tadi hingga lantai atas stasiun. Tampak sang Porter, terlihat kepayahan dengan jalan yang tergopoh-gopoh. Sesampainya di lantai atas, saya pun memotret aktifiitas dari beberapa porter. Awalnya mereka buyar, masing-masing ada yang duduk dan juga ada yang berdiri di pojok dekat lift. Namun saat Kereta Api datang, dengan berbaris rapi, mereka pun mengerubungi kereta itu. Sepertinya dari mereka sudah mempunyai kesepakatan atau peraturan tersendiri yang berlaku di kalangan porter. Sebab saya perhatikan, antara seorang porter dengan yang lainnya tampak tidak saling bersaing dalam menawarkan jasa. Bila ada yang mendekati seorang Ibu, yang satunya lagi menjauh dan mendekati seorang Lelaki setengah baya yang baru keluar dari pintu kereta. Bahkan tak jarang mereka menjemput bola dengan cara memasuki langsung kereta yang sedang singgah dan menawarkannya kedalam gerbong. Sehingga pas keluar, tiba-tiba tangan mereka sudah penuh dengan barang bawaan seorang penumpang. Saat saya memotret aksi seorang porter, ternyata apa yang saya lakukan tidak lepas dari pandangan seorang petugas keamanan atau security yang berdiri tepat di seberang saya. Dengan tersenyum, sang securtity berseragam biru pun mengangguk saat tahu saya beberapa kali memotret di stasiun. Iseng-iseng saya pun mendekatinya, seraya mengajak ngobrol beliau. Tujuan utamanya adalah mengorek informasi dari porter yang banyak terdapat di stasiun ini. Karena saya penasaran kepada mereka, ingin menanyakan langsung tentunya tidak mungkin. Sebab banyak kereta yang datang silih berganti, ada yang dari Solo, Cirebon, Bandung ataupun Jabodetabek. Jadinya saya takut malah mengganggu aktifitas mereka mencari nafkah. Maka saya pun menanyakannya kepada sang Security yang kelihatannya masih berusia empat puluhan serta orangnya tampak ramah. Dari apa yang saya obrolkan dengannya, ternyata saya baru tahu kalau tarif seorang porter itu sangat bervariasi. Ada yang rp. 5000 sekali bawa, atau rp 10.000 juga bisa jadi lebih dari rp. 20.000. Tergantung penumpang itu sendiri, kalau kelihatan lugu, maka oleh porter pun tarifnya "digetok", maksudnya harganya sangat tinggi. Namun kalau penumpang itu sudah terbiasa menaiki kereta, maka harganya pun ikutan biasa, standar. Ucap sang security. Tapi biar begitu, porter-porter itu selalu laris, baik saat mengangkut barang dari kereta menuju parkiran. Ataupun dari parkiran menuju ke lantai atas stasiun. Seperti yang saya lihat dari dua orang yang ditawari jasa porter, yang satu menolak dan menjauhinya karena tarifnya kemahalan. Sedangkan yang satunya lagi, Ibu muda beserta anaknya yang kecil, nampak kalem saja memakai jasa sang porter. Mungkin dalam hati si Ibu muda ini, mengatakan, biar mahal bagaimanapun, toh keberadaan seorang porter di stasiun sangat penting. Kalo tidak ada mereka, pastinya Ibu muda itu kerepotan saking banyaknya barang yang dibawa, belum lagi dengan keberadaan anaknya yang masih kecil Hingga akhirnya, obrolan kami terhenti saat terdengar pengumuman dari petugas stasiun, bahwa Kereta Argo Parahyangan telah tiba dari arah selatan di jalur empat. Saya pun pamit dengan Pak Security, seraya mengucapkan terima  kasih atas obrolannya yang singkat namun telah membuka wawasan saya.

*   *   *

[caption id="attachment_150844" align="aligncenter" width="614" caption="Di depan pintu masuk stasiun, menunggu kedatangan kendaraan calon penumpang"][/caption]

*   *   *

[caption id="attachment_150850" align="aligncenter" width="614" caption="Seorang porter saat mengangkat barang milik penumpang (Berbaju Kuning-Biru)"][/caption]

*   *   *

[caption id="attachment_150852" align="aligncenter" width="614" caption="Beberapa porter ikut naik dalam gerbong untuk menawarkan jasanya pada penumpang"][/caption]

*   *   *

*   *   *

Jakarta - Bandung, 23 Desember 2011 (22:35 wib) - Choirul Huda (CH)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline