"Nak, kalau kamu ingin melakukan sesuatu, baik itu yang benar atau salah itu terserah kamu. Kamu sudah dewasa, serta dapat menentukan pilihan sendiri dan Ibu juga tidak dapat melarang atau mencegahnya. Cuma, saran Ibu hanya satu: kalau kamu melakukan sesuatu yang menurut kata hatimu tidak benar, maka Ingatlah Ibu..."
* * *
[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="http://ardhybheler.files.wordpress.com"][/caption] TPU Karet Tengsin, 10:30 wib. Dengan langkah yang gontai, aku turun dari sebuah taksi dan langsung berjalan untuk memasuki tanah pemakaman. Pagi itu taman pemakaman sungguh ramai, mungkin karena hari ini adalah Idul Fitri. Perlahan demi perlahan aku memasuki pintu gerbang, sungguh suatu pengalaman yang sangat mendebarkan yang pernah aku alami selama ini. Sorot mata pengemis dan pedagang di pinggir kuburan menyiratkan suatu perasaan aneh yang berada dalam diriku. Ya, aku seperti orang yang linglung. Langkahku gontai, bagaikan dahan yang tertiup angin. Setelah berjalan sejauh 100 meter menyusuri pemakaman, tiba saatnya aku di depan depan batu nisan. Makam itu, adalah milik Ibuku. Sang Bunda yang setahun lalu baru saja wafat. Dengan duduk lesu, dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya mampu terisak, hingga air mata ini membasahi bumi...
* * *
Seorang lelaki berumur dan bersorban kemudian membangunkanku dari lamunan panjang. Lalu, beberapa pemuda yang memapahku segera membersihkan makam Ibu, yang ditumbuhi rumput-rumput tak beraturan. Dengan sabit dan arit mereka tampak sigap membersihkan rumput yang kotor. Tak lama berselang datanglah seorang Nenek yang menawarkan dua botol air mawar beserta setangkai kembang. Sungguh dunia terbalik... Sepertinya baru beberapa saat yang lalu, Aku, Ibu dan Istriku kesini mengunjungi makam Ayah. Namun kini... Hingga akhirnya, aku terdengar Bapak tua itu membacakan beberapa kalimat dari Ayat suci untuk mendoakan sang Bunda. Dan aku hanya bisa menengadahkan kedua tangan seraya mata memandang jauh ke atas sana sambil mengucapkan Amin... Kini setelah doa selesai, aku menyepalkan beberapa lembar uang kepada mereka sebagai ucapan terima kasih karena turut mendoakan dan juga membersihkan makam Ibu. Hingga aku duduk termenung sendiri di pusara sang Bunda...
* * *
Ibu, ibu... Kini aku pulang, Bu. Maafkan aku, karena 2 tahun lalu sudah menyepelekan penyakitmu... Maafkan aku yang selama 31 tahun ini berbuat yang tidak-tidak, karena judi... Lima tahun sudah aku merantau di negeri orang, Selama itu aku telah terombang-ambing antara yang gelap dan terang... Namun aku malah meilih hidup yang abu-abu, bahkan lebih sering terseret kedalam lembah hitam. Hingga akhirnya aku melupakan Engkau satu-satunya Orang Tua yang masih tersisa setelah Ayah meninggal semenjak aku kecil. Bahkan dalam sakitmu, tak sekalipun aku menjengukmu. Sampai karena terlena kebahagiaan yang semu Mengakibatkan Istriku diambil orang, Anakku tak lagi ingat siapa Ayah kandungnya, dan Hilangnya tulang punggung tempat aku selama ini bersandar, yaitu: Ibu...
* * *
ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
lalu do'a-do'a baluri sekujur tubuhku