Lihat ke Halaman Asli

Choirul Huda

TERVERIFIKASI

Kompasianer sejak 2010

Ketika Sepak Bola Tidak Bisa Diprediksi

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14042213981179601764

[caption id="attachment_313587" align="aligncenter" width="512" caption="Siap-siap musim depan menyaksikan Liga Kosta Rika (foto: dok. FIFA.com)"][/caption]

BAGI saya, Piala Dunia 2014 telah berakhir sejak 24 Juni lalu. “Loh kok bisa?” Demikian reaksi seorang kawan yang bertanya. Bisa dipahami sebab, menurutnya, Piala Dunia 2014 berlangsung sesuai jadwal pada 12 Juni hingga 13 Juli mendatang. Namun, dengan keukeuh, saya menjawab sejak 24 Juni 2014.

Apa pasal? Sebab, pada hari itu, Selasa, saya harus menyaksikan kekalahan Italia dari  Uruguay. Gol tunggal Diego Godin ibarat ketuk palu vonis hukuman mati dari hakim kepada Andrea Pirlo yang memutuskan pensiun. Sekaligus, menyingkirkan Italia akibat kalah bersaing dengan Uruguay untuk mendampingi Kosta Rika yang lolos ke-16 besar dari Grup D.

Ya, Italia, sebagai salah satu negara terkuat di sepak bola dan juga pemilik kompetisi terelite di muka bumi, Seri A, nyatanya harus tersingkir lebih awal. “Gli Azzurri” mengikuti jejak dua tim tradisional lainnya yang lebih dulu mengepak koper, Inggris dan Spanyol.

Jika ditotal, ketiga negara itu penghasil enam trofi dari 19 gelaran Piala Dunia sebelumnya. Alias, persentase jumlah koleksi juara mereka mencapai 31 persen! Italia memimpin dengan empat kali juara diikuti Inggris dan Spanyol yang masing-masing sekali kampiun.

Ironisnya, dua nama terdepan, Italia dan Inggris senasib. Mereka dikalahkan Uruguay sekaligus “dikadali” Kosta Rika. Okelah, jika Italia dan Inggris disandingkan dengan Uruguay yang merupakan “tim tradisional” dengan kesuksesan dua kali menjuarai Piala Dunia.

Namun, bagaimana dengan Kosta Rika? Mengapa harus Kosta Rika? Seperti yang saya tulis pada artikel sebelumnya berjudul Anomali di (Fase Grup) Piala Dunia 2014. Bahwa, bermimpi pun rasanya saya tidak berani menyaksikan Kosta Rika lolos ke-16 besar. Atau, jangan-jangan musim depan kita siap-siap menyaksikan tayangan langsung Liga Kosta Rika yang akan disiarkan salah satu televisi swasta!

Hanya, itulah sepak bola. Salah satu cabang olahraga yang unik. Yaitu, kesuksesan sebuah tim tidak bisa ditentukan oleh faktor individu belaka. Kesuksesan adalah buah dari kolektivitas 11 pemain di lapangan. Mungkin, berbeda jika itu terjadi pada Piala Dunia 1970 ketika Pele memang berperan besar dalam keberhasilan Brasil meraih juara ketiga kalinya. Atau, saat Diego Maradona di puncak kejayaan yang nyaris “sendirian” mengantarkan Argentina merebut mahkota 1986.

Tapi, ini abad 21. Ketika sepak bola bukan sekadar permainan. Melainkan sudah meliputi bisnis dan dan segala turunannya. Contohnya, ketika pandangan mata dunia tertuju pada satu negara tandus di kawasan gersang gurun Sahara, Aljazair. Ya, tim asal Afrika itu melenggang ke fase knockout untuk mendampingi Belgia. Seolah, pemain Aljazair, mengejek wakil Eropa, Rusia, dan Korea Selatan yang sebelumnya diprediksi lolos.

Atau, bagaimana bisa Amerika Serikat (AS) yang terbiasa bermain bola melalui tangan, alias American Football, dapat lolos ke-16 besar? AS yang tergabung di Grup G sukses menemani Jerman sekaligus mendepak “kuda hitam” Ghana dan Portugal yang diperkuat Pemain Terbaik Dunia 2013, Cristiano Ronaldo.

Oh ya, belum cukup dengan kegagalan Italia, Inggris, dan Spanyol. Satu “kejutan” kecil terjadi pada laga terakhir Grup H ketika Portugal mengalahkan Ghana, skor 2-1. Alih-alih ikut menemani Jerman ke-16 besar, Portugal justru gagal karena kalah selisih gol (4-7) dari AS (4-4).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline