Calo itu identik dengan Terminal, Stasiun, Bandara, dan tempat pembuatan KTP, SIM, dan Paspor. Dari pengalaman saya, beberapa tempat tersebut, baik swasta maupun pemerintah sudah lumrah dipenuhi para perantara yang disebut calo. Namun, apa jadinya bila calo pun sudah merambah ke Kakbah, bangunan suci umat muslim yang terletak di Masjidilharam, Mekah, Arab Saudi?
Mimpi pun saya tidak pernah membayangkan jika ternyata calo mampu menancapkan kakinya di tempat yang disebut sebagai rumah Tuhan tersebut. Tapi, ternyata itu memang ada dan sudah lama terjadi. Bahkan, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Memang, saya sendiri tidak melihat langsung, sebab saya belum pernah pergi haji atau melakukan umrah.
Melainkan, kabar tersebut saya dapat dari seorang tetangga yang sudah pernah ke melakukan ibadah rukun Islam ke lima yang biasa disapa Uwak Haji (paman) ketika tengah berbincang di rumahnya. Menurut beliau, keberadaan calo saat pelaksanaan haji sudah lumrah. Mulai dari mengurus dokumen saat masih di tanah air, lalu"pelicin" agar cepat berangkat tidak mengikuti kuota, hingga ketika tiba di Baitulharam, dan mengangkut air zam-zam.
Jika mengenai kuota, saya sendiri sudah paham, karena ada tetangga yang masih satu lingkungan dengan saya dan uwak haji, mengeluh karena baru bisa berangkat sekitar 2018. Padahal, daftarnya sudah dari tahun lalu. Menjadi ironis mengingat beberapa bulan lalu saya membaca berita bahwa banyak pejabat di negeri ini, baik dari DPR, DPRD, hingga pihak Kementrian Agama seperti memiliki "wild card". Alias, bisa lenggang kangkung melaksanakan ibadah haji seenaknya.
Nah, yang membuat saya terhenyak ketika Uwak menturkan pengalamannya selama naik haji kedua kalinya pada 2012 lalu (yang pertama katanya 1995). Saat itu, pemiliki kios sayur mayur di Pasar Induk Kramat Jati itu bercerita, bahwa keberadaan calo tidak hanya di terminal, stasiun, dan sebagainya saja layaknya di tanah air. Tapi, sudah merambah ke Mekah.
"Dua tahun lalu Uwak -beliau membiasakan dirinya- sering ditawari calo untuk mencium Hajar Aswad di Kakbah. Itu ga gratis, tapi bayar. Kalo ga salah dia matoknya gila-gilaan, 70 Riyal sampai 100 (sekitar Rp 220 ribu?). Uwak sih, ga mau kayak gitu. Masak orang mau beribadah aja harus pake perantara. Kalo prinsip Uwak, bisa cium Hajar Aswad ya, alhamdullilah. Tapi, kalo ga bisa ya, ga apa-apa. Itu kan ga wajib," tutur Uwak.
Pria berusia 60-an tahun ini melanjutkan, "Apalagi, sama pembimbing sudah dicegah agar bersabar, toh pasti kebagian. Gantian sama ribuan orang yang pengen cium Hajar Aswad juga. Tapi, ada juga yang ga sabaran, sampe akhirnya keluar uang biar bisa cepet cium Hajar Aswad. Soalnya, menurut mereka, pergi haji kalo ga cium Hajar Aswad katanya ga afdol. Saat itu, Uwak, Nyai -istri beliau-, pembimbing, dan beberapa anggota hanya geleng-geleng kepala saja. Sebab, calo yang mengantarkan rombongan kami itu menerobos antrean sambil menyikut beberapa jemaah lainnya. Bahkan, ada yang terjengkan segala gara-gara ulah ntu calo. Yang bikin nyesek, tahu ga, calo itu orang kita-kita juga. Dari Indonesia! Malu-maluin aja."
Berdasarkan pengalamannya ketika menunaikan ibadah haji yang pertama pada 1995, tidak ada calo sama sekali. Saat itu, meski harus bersusah payah menerobos antrean, tapi Uwak dan rombongannya bisa mencium Hajar Aswad dengan mudah tidak seperti dua tahun lalu. Tapi, setelah mendengar cerita dari para pembimbing, calo mulai marak sejak tahun 2000-an. Tak jarang, ada calo yang giat "menawarkan jasanya" untuk membantu mencium Hajar Aswad dari mulai pondokan. Ironisnya, meski begitu, tapi tidak ada tindakan nyata dari pihak pemerintah.
"Kadang Uwak kalo ingat seperti itu jadi miris. Sebab, di depan Kakbah yang suci itu, orang-orang justru saling sikut demi mencium Hajar Aswad yang berwjud batu," ujar Uwak menjelaskan yang tentu saja menjadi pelajaran bagi saya pribadi yang mungkin kelak jika sudah mampu pergi haji, bisa lebih bersabar untuk mengantre saat mencium Hajar Aswad. Ketimbang harus membayar calo yang saling sikut dan menyakiti yang sudah tentu bisa merusak ibadah itu sendiri.
* * *
Cikini, 19 September 2014