[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Atlet wushu Indonesia, Juwita Niza Wasni, beraksi di nomo final nanquan pada cabang wushu Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan, Sabtu (20/9/2014). (kompas.com)"][/caption] Akhirnya, Indonesia kembali mendapat medali emas pada Asian Games (AG) 2014 Incheon, Korea Selatan. Hingga Selasa (30/1) total kontingen Indonesia meraih 17 medali, yaitu 4 emas, 5 perak, dan 7 perunggu. Memang, torehan itu belum mampu menyamai AG 2010 di Gangzhou, Tiongkok, ketika meraih 26 medali (4, 9, 13). Apalagi, jika dibandingkan dengan AG 1962 di Jakarta yang hingga kini masih menjadi prestasi terbaik Indonesia dengan 51 medali (11, 12, 28). Namun, torehan 17 medali yang direbut putra-putri Indonesia itu sudah sangat membanggakan. Itu mengingat kerja keras mereka untuk mempersiapkan diri dalam ajang empat tahunan negara Asia tersebut. Khususnya, pencapaian itu bisa disebut sebagai kabar menggembirakan setelah dalam beberapa pekan terakhir ini Indonesia dilanda kemelut. Baik itu mengenai Pemilihan Presiden (Pilpres) dan yang teranyar tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung atau tidak langsung. Jadi, apa yang dipersembahkan wakil kita di Korea Selatan itu ibarat oase di padang pasir yang tandus. Ya, kita patut berterima kasih kepada Gresysia Polii, Nitya Krishinda Maheswari, Mohammad Ahsan, Hendra Setiawan, Maria Natalai Londa, dan Juwita Niza Wasni. Mereka inilah yang layak dijuluki sebagai "Wakil Rakyat" yang sesungguhnya yang memang mewakili kita untuk mengharumkan bangsa ini dengan persembahan medali emas. Apresiasi juga patut disematkan untuk puluhan atlet yang sudah meraih medali perak dan perunggu. Tak lupa, kita wajib menyemangati atlet yang gagal meraih target di AG tahun ini agar lebih terpacu kinerjanya pada edisi 2018. Maklum, empat tahun mendatang, giliran Indonesia yang akan jadi tuan rumah. Tentu, kita tidak ingin sekadar sukses sebagai penyelanggara. Melainkan juga harus sukses dalam hal pelaku, yaitu atlet itu sendiri. Nah, bagi saya yang rutin mengikuti perkembangan wakil Indonesia di AG melalui media cetak, elektronik, dan online. Ada pemandangan menarik pada hari ke-12, yaitu kemarin. Sebab, Indonesia mendapat tambahan medali emas bukan setelah bertanding. Melainkan "limpahan" dari atlet asal Malaysia, Tai Cheau Xuen yang menjuarai cabang Wushu di nomor nanquan dan nadao, namun didiskualifikasi akibat gagal tes doping. Alhasil, atlet Indonesia yang sebelumnya menempati posisi kedua, Juwita Niza Wasni, otomatis menjadi juara dan berhak atas medali emas Tai Cheau Xuen. Menariknya, pelatih Wushu Indonesia, Iwan Kwok, justru tidak terlalu bangga dengan medali emas untuk atletnya. Sebaliknya, dia malah bersimpati dengan keadaan yang diterima kontingen Malaysia. Itu diungkapkan Iwan seperti yang saya kutip dalam rilisnya kepada sejumlah media di Jakarta, "Kami telah dapat kabar dari Malaysia. Mereka mengucapkan selamat kepada Juwita. Hanya, kami tidak serta merta bangga atas medali ini. Sebab, hasil ini diraih karena ada kemalangan dari Malaysia. Tapi, terlepas dari kasus (doping) itu, saya menilai penampilan Juwita sangat bagus. Beda tipis dari Malaysia." Bagi saya, pernyataan itu sangat ksatria. Lantaran, Iwan yang mewakili kontingen Wushu tidak jemawa atas perolehan medali timnya. Sebab, sebagaimana kita tahu, dalam olahraga, memakai doping itu haram hukumnya. Sangat wajar jika Tai Cheau Xuen dicopot medalinya bahkan mendapat kecaman warga Malaysia dengan di-bully di media sosial. Itu mengingatkan saya pada pembalap sepeda asal Amerika Serikat, Lance Amstrong yang hidupnya kini penuh hinaan akibat mengakui menggunakan doping saat kejayaannya. Sikap Iwan dan tim Wushu itu patut diapresiasi dan layak ditiru jutaan masyarakat Indonesia lainnya. Tidak hanya dalam olahraga, melainkan juga untuk versi lainnya. Yaitu, yang menang tidak jemawa dan yang kalah ikhlas mengakuinya. Maklum, dalam olahraga, Indonesia memang terlibat persaingan sengit dengan Malaysia. Tak jarang, kedua negara serumpun itu saling ejek satu sama lain. Namun, dengan adanya kasus doping ini danucapan selamat dari Negeri Jiran untuk kontingen kita yang dibalas dengan santun dan berempati merupakan simbol dari olahraga itu sendiri untuk memegang teguh prinsip fair-play. Semoga saja, dari olahraga yang merupakan bagian kecil dari Indonesia bisa menjalar kepada elite politik di negeri ini.
* * *
Referensi: Situs resmi Asian Games 2014 - Cikini, 1 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H