Lihat ke Halaman Asli

Choirul Huda

TERVERIFIKASI

Kompasianer sejak 2010

Aku Memanggilnya, Ndut...

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak orang mengatakan, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Khususnya bagi pria, ketika merasa sudah cukup mapan dalam materi dan harus menjalani "puber" kedua. Tapi, usiaku belum mencapainya. Sebab, aku baru lewat empat windu. Ya, usia yang menurutku sudah hampir cukup matang. Baik dalam hal bekerja atau mengurus rumah tangga.

Namun, benar kata pepatah, semakin tinggi pohon, angin yang bertiup pun kian kencang. Itu terjadi pada diriku. Empat tahun berselang sejak kejadian yang memilukan itu. Aku telah sadar dan kembali bersama Lenny. Kini, rumah kami semakin ramai sejak kelahiran adik Putri bernama Rumi yang kini sedang imut-imutnya.

Memiliki rumah yang meski tidak disebut mewah tapi lumayan karena berada di kawasan strategis di pusat kota. Lalu,dihuni oleh istri yang cantik dan putra-putri yang imut dan manis. Keluarga, tetangga, rekan kerja, teman sepermainan, menyebut keluarga kami sangat ideal. Bahkan, oleh beberapa orang tua, rumah tangga kami dijadikan barometer keluarga harmonis.

“Tuh lihat, mas Wisnu dan mbak Lenny. Mereka akur terus ga pernah ribut. Kalian contoh dong seperti mereka,” ujar bu Darwis, ketua RT kepada anak dan menantunya yang sepertinya habis bertengkar. Kebetulan, saat itu aku sedang bertandang ke rumahnya untuk mengurus izin ke kelurahan. Dengan santainya yang menurut orang merupakan perkataan bijak, aku pun turut mengomentari sambil tertawa kecil.

“Ah, ga juga bu Dar. Kami sering berantem kok,” tuturku yang dengan melirik Lenny yang mengangguk sambil tersenyum. “Cuma, ya mungkin ga ketahuan tetangga. Lagipula, kita bisa ambil sisi positifnya dari pertengkaran suami istri. Sebab, setelah ribut yang ada malah timbul kangen.”

Bu Darwis hanya bisa menghela nafas mendengarkan penuturanku. Saat melangkah beberapa meter dari rumahnya, terdengar beliau berbicara kepada anak dan menantunya, “Ibu berharap kalian seperti mas Wis sama mbak Len. Sudah ramah dan sopan, mereka tidak sombong.”

*      *      *

Tombak yang terang mudah dielak. Anak panah gelap sukar diterka.

Mungkin, adagium lawas itu tepat menggambarkan kehidupan rumah tangga kami. Mereka, tetangga tahunya kami aman tenteram. Padahal, sudah beberapa bulan terakhir kami dilanda “perang dingin”. Khusunya aku yang sering memarahi Len meski dengan kasus sepele. Entah itu mengenai rasa masakan yang terlalu manis, setrika pakaian yang tidak rapi, atau kopi yang disediakan airnya kurang panas.

Hebatnya, Len tidak pernah membantah perkataanku. Dengan sabar, dia tetap melayani keinginanku. Meski, di tengah kesibukannya mengurusi Putri dan Rumi.Kadang, dalam hatiku berpikir, istri yang kudapatkan dengan cara jatuh bangun ini merupakan sosok yang ideal. Len tak pantas menjadi lampiasan amarahku setiap hari. Maklum, biar bagaimanapun, sebagai manusia aku masih memiliki liangsim.

Namun, hati nuraniku seperti sudah beku. Semakin ke sini, keadaan di rumah malah tambah ruwet. Padahal, dengan setia Len tetap menemaniku untuk minum kopi sambil membaca surat kabar di beranda. Tapi, entahlah. Menurutku itu hambar. Apa yang dilakukan wanita yang dulu kuperebutkan dengan tiga pria mapan itu sepertinya selalu salah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline