Artikel ini saya tulis karena bentuk rasa tanggung jawab atas komentar yang pernah saya nyatakan di salah satu artikel rekan Kompasianer yang saya hormati karena tulisan-tulisannya, yaitu bung Rahmad Agus Koto. Dalam artikelnya yang berjudul; “Inilah Saingan Berat Jokowi Menuju Presiden Kita Berikutnya” saya memberi komentar dan ditanggapi oleh penulis seperti ini;
[caption id="attachment_292846" align="alignnone" width="680" caption="sumber: kompasiana.com"][/caption]
Maka menjadi kewajiban saya untuk dapat memenuhi dan menjelaskan apa yang diharapkan oleh seorang Rahmad Agus Koto atas komentar saya tersebut, karena menurut saya, etika dalam menulis salah satunya adalah saling menghargai. Jika tulisan saya dibaca kemudian dikomentari (baik, buruk, pro, kontra dan sebagainya) itu adalah bentuk penghargaan pembaca terhadap tulisan saya, maka saya wajib menanggapi komentar tersebut. Dan sebaliknya, jika saya membaca tulisan penulis lain, kemudian saya memberi komentar dan sang penulis mengharapkan penjelasan atas komentar saya dalam tulisannya, maka kewajiban saya pula untuk memenuhi harapan sang penulis memberikan penjelasan sebagai bentuk tanggung jawab dan penghargaan saya kepada sang penulis.
Saya akan berusaha untuk se-obyektif mungkin dalam menggambarkan kedua tokoh seorang Gita Wirjawan (dalam penulisan berikutnya akan saya singkat menjadi; “Gitawi”) dan seorang Jokowi, karena dalam artikel ini saya tidak dalam posisi memihak kepada kedua tokoh ini tapi lebih ingin memberikan ‘potret’ seorang Gitawi dan seorang Jokowi dalam perspektif; “apa yang saya tahu, apa yang saya dengar, apa yang saya lihat, apa yang saya baca”. Harapan saya, di akhir artikel ini akan di dapat suatu korelasi kesimpulan yang dapat diterima secara logika terutama oleh rekan kompasianer saya bung Rahmad Agus Koto untuk komentar saya tersebut.
Penjelasan saya mulai dengan melihat potret seorang “Gitawi”, seorang yang muda enerjik, lulusan S1 dan S2 di perguruan tinggi terkenal dan juga negara terkenal. Pengalaman kerja seorang Gitawi mungkin menjadi impian semua pekerja muda di negeri ini, bekerja di luar negeri dengan posisi dan pendapatan yang baik, kembali ke tanah air menjadi direktur utama di salah satu perusahaan luar negeri terkenal di Indonesia, keluar, kemudian mendirikan perusahaan sendiri dan berhasil dalam membangun bisnisnya. Berkenalan dengan penguasa negeri kemudian masuk dalam susunan pejabat birokrasi negeri ini sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia sejak 2009 kemudian menjadi Menteri Perdagangan RI sejak 2011 hingga kini. Saya tidak akan lebih mendetil untuk bicara seorang Gitawi sebagai pribadi atau dengan bisnisnya di Ancora Capital, karena itu wilayah privasi Gitawi dengan permasalahannya tetapi yang ingin saya soroti adalah seorang Gitawi menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia dan seorang Gitawi menjadi Menteri Perdagangan RI, karena ini jabatan publik negeri sehingga menjadi wilayah yang kita semua berhak untuk melihat dan menilainya.
Sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia, Oktober 2009 hingga Juni 2012, (tanpa bermaksud subyektif) sulit saya menemukan tautan berita yang menggambarkan seorang Gitawi berhasil memimpin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia dalam kaitan peningkatan indeks ekonomi kerakyatan di Indonesia. Ada satu webblog yang menyatakan seorang Gitawi sukses saat memimpin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia tetapi hanya tertulis karena keberhasilannya menarik investor asing ke dalam bidang usaha dalam negeri Indonesia dan tidak ada penjelasan dari maksud pernyataan tersebut, berdasar webblog tersebut saya susuri lagi mesin pencari saya di notebook dengan keyword; “keberhasilan gita wirjawan menarik investor asing ke dalam negeri”, tak ada satupun tautan yang berkorelasi dengan keyword tersebut. Menariknya, dalam usaha pencarian saya tersebut ada tautan yang memberi potret seorang Gitawi saat menjabat menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia yang berjudul; “Amankan Aset Nasional BKPM Minta Dirombak”, mungkin untuk sebahagian pembaca ada yang merasa isi tautan tersebut bersifat subyektif, saya-pun khawatir akan hal itu tetapi dengan melihat beberapa nama yang memberi komentar di antaranya Revrisond Baswir, Ekonom UGM, kemudian nama Hendri Saparini, Ekonom UGM dan peneliti ECONIT dan tokoh nasionalis terkenal Kwik Kian Gie, semoga tulisan tersebut lebih mendekati obyektifitasnya.
Sebagai Menteri Perdagangan RI, Oktober 2011 hingga sekarang, (kembali tanpa bermaksud subyektif), sulit juga saya menemukan tautan berita yang menggambarkan keberhasilan seorang Gitawi me-nahkoda-i kapal yang bernama; “Kementerian Perdagangan”. Yang saya dapat adalah sang menteri dengan program kontroversi “TOEFL 600” dan tautan-tautan lain yang (malah) antonim dengan kata kunci; “keberhasilan”. Ada artikel menarik yang pernah ditulis oleh rekan kompasianer kita 1 tahun yang lalu mengenai sosok Gitawi ini dalam judul; “Gita Wiryawan Sang Monster Anggaran”, dari 1.846 pembaca (jumlah saat saya berkunjung), 1 orang memberi nilai aktual tetapi anehnya tidak satupun yang memberi komentar baik pro ataupun kontra, alasan apa hanya 1.846 pembaca tersebut yang tahu, termasuk saya tentunya karena sudah membaca. Kita pernah merasakan atau minimal mendengar beberapa saat yang lalu harga-harga kebutuhan pokok rakyat melambung tidak beraturan, jika ini ditanyakan kepada pemerintah maka dua kementerian yang menaungi masalah ini, perdagangan dan pertanian akan saling menunjuk hidung untuk saling menyalahkan. Beberapa saat lalu, ketika harga kedelai melonjak tinggi, masalah ini diangkat dalam salah satu acara talkshow TV nasional (saya jadikan catatan pribadi), ketika seorang Jusuf Kalla selesai memberikan komentarnya, ditanggapi oleh seorang Gitawi dengan pernyataan (kurang lebih); “Kami sudah bekerja, tetapi peraturan mempersempit ruang gerak…”, dan kemudian langsung dijawab kembali oleh bapak Jusuf Kalla; “Benar, you sudah bekerja, tetapi artinya belum maksimal…., harusnya you bisa mengambil terobosan sebagai menteri, itu yang diharapkan Presiden angkat you jadi menteri”. Seorang Gitawi terdiam dengan wajah agak menahan perasaan.
Itulah sedikit potret dari seorang Gitawi yang dapat saya ambil dan saya bertanya mengapa seorang Gitawi dapat hebat dan tangguh saat mengurus bisnis pribadinya tetapi lemah tidak berdaya saat harus bekerja demi rakyat banyak negeri ini dengan segala kuasa dan kewenangannya.
Mari kita rehat sejenak membacanya……..
Penjelasan saya lanjutkan dengan melihat potret seorang Jokowi, 4 tahun lebih tua dari Gitawi, lahir dari keluarga yang jauh dari kaya sehingga masa sekolah seorang Jokowi diselingi dengan berdagang dan menjadi kuli panggul di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lulusan Universitas Gadjah Mada di Jogyakarta Fakultas dan Jurusan Kehutanan, kemudian sebentar bekerja di BUMN, keluar dan mendirikan usaha perkayuan dengan menjaminkan rumah kecilnya. Tahun 2005-2010 menjadi Walikota Solo untuk kali pertama, pada tahun 2010 terpilih kembali untuk periode hingga 2015. Tetapi pada tahun 2012, Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 setelah mengalahkan petahana di putaran kedua. Saya juga tidak akan mendetil bicara seorang Jokowi untuk kehidupan pribadinya, yang ingin saya soroti dan nilai adalah jabatan publik seorang Jokowi saat menjadi Walikota Solo 2005-2012 dan seorang Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta sejak Oktober 2012 hingga saat ini.
Saat saya mengetik keyword: “Jokowi”, luar biasa!! tautannya lebih banyak mengabarkan tentang sisi positif dari seorang Jokowi dibanding sisi negatifnya. Apakah ini rekayasa? Saya tidak dapat menjawabnya karena saya tidak tahu bagaimana cara kerja mesin pencari tersebut untuk mengindeks dan menterjemahkan arti dari kata; “Jokowi”. Karena penasaran membuka beberapa halaman masih saja tentang sisi positif seorang Jokowi, saya ubah keywordnya menjadi; “keburukan jokowi”, muncul tautan yang mengabarkan tentang keburukan atau sisi negatif dari seorang Jokowi, tetapi luar biasanya, berita atau tulisan mengenai hal negatif tentang Jokowi seakan terbantahkan sendiri dari sang penulis karena data yang tidak valid dan terkesan dibuat-buat karena ingin menjatuhkan nama dari seorang Jokowi dan ketidak-jelasan dari penulis sendiri. Tidak percaya? Silahkan dilakukan saja sendiri seperti yang sudah saya lakukan.
Saya tidak akan memberi tautan-tautan yang berkenaan dengan seorang Jokowi, karena sudah sangat terlalu banyak dan pembaca semua sudah dapat melakukannya sendiri dan memilih tautan mana yang akan dijadikan bahan kajian atau bandingan antara dua tokoh yang sedang saya bahas disini. Saya hanya ingin sedikit memotret seorang Jokowi dari ‘lensa mata’ saya sendiri, beberapa waktu lalu saat akan berlangsungnya acara pemilukada DKI Jakarta, ada beberapa kesempatan saya berkunjung ke Solo karena keperluan keluarga, saya tanyakan kepada bapak pengayuh becak yang mengantar saya dan istri dari hotel menyusuri jalan-jalan di Solo tentang sosok Jokowi. Lambat tapi jelas bagaimana seorang rakyat menceritakan pemimpinnya yang dianggap berhasil, ada kalimat yang masih teringat oleh saya yang diucapkan oleh bapak pengayuh becak; (dalam bahasa jawa, artinya) “Bagaimana nanti Solo ya jika pak Jokowi kepilih di Jakarta ”. Saya sempatkan juga bertanya dengan ibu pedagang nasi liwet di pasar gede, cerita yang sama juga tentang kedekatan seorang Jokowi dengan ‘wong cilik’, dengan bangga ibu pedagang nasi liwet itu menunjuk-nunjuk kios-kios pasar gede yang rapi karena Jokowi, saya dan istri hanya tersenyum-senyum saja.
Saat pemilukada putaran kedua, ketika hanya tersisa 2 calon pasangan, saya iseng bertanya kepada tukang ojek langganan keluarga saya, siapa nanti yang akan dipilih, jawabannya untuk saya sangat luar biasa; “Bingung om, mau pilih Jokowi tapi kata PK* jangan karena wakilnya kan Kris***, nanti kita dosa milih ka**r”. Masya Allah….., saya bilang; “Jangan mau kamu di bodoh-bodohin, ga ada itu seperti itu, kamu pilih Jokowi kalau mau seneng”. Selang setelah pemilukada, saya tanya lagi siapa akhirnya yang dipilih, tukang ojek saya jawab; “Jokowi om, semua juga pada pilih dia”, saya tanya lagi; “Dapat uang ga dari Jokowi”, dijawab; “Ga ada om, dari F*k* malah ada 25 ribu”. Kemudian saat diberlakukannya Kartu Jakarta Sehat kemudian Kartu Jakarta Pintar, saya tanya kepada tukang ojek saya apakah sudah dapat, Alhamdulillah katanya sudah dapat semua.
Apa yang saya ceritakan tentang percakapan saya dengan bapak pengayuh becak dan ibu pedagang nasi liwet di Solo itu apa adanya, percakapan saya dengan tukang ojek langganan keluarga saya juga bukan di buat-buat, dan saya menceritakan itu semua bukan untuk mendiskreditkan pihak lain tetapi untuk meyakinkan diri saya sendiri dalam mengambil kesimpulan di akhir tulisan penjelasan saya ini.
Jabatan seorang Presiden dan Wakil Presiden adalah jabatan tertinggi nomor 1 dan nomor 2 di suatu negeri, artinya orang-orang tersebut diharapkan dapat menjadi pengayom, pelindung, panutan bagi (jika di Indonesia) orang nomor 3 hingga nomor 250 juta. Terutama untuk rakyat yang ‘benar-benar rakyat’, orang nomor 1 dan nomor 2 ini diharapkan dapat mengangkat harkat martabat hidup mereka, mensejahterakan mereka di seluruh negeri. Artinya jabatan seorang Presiden dan Wakil Presiden adalah jabatan amanah demi kemaslahatan bangsa, negara dan tidak kalah penting, rakyatnya.
Saya benar-benar berusaha se-obyektifitas mungkin menilai dua sosok Gitawi dan Jokowi, bukan apple to apple antara Gitawi seorang Menteri Perdagangan RI dan Jokowi seorang Gubernur DKI Jakarta, tetapi apple to apple jabatan publik seseorang dalam suatu pemerintahan dan bagaimana seseorang itu melaksanakannya. Kesimpulannya adalah seorang Gitawi dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai pejabat publik yang seharusnya dengan kewenangan yang dimilikinya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat tetapi pada kenyataannya tidak dapat membuktikan hal tersebut. Kemudian seorang Jokowi dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai pejabat publik yang seharusnya dengan kewenangan yang dimilikinya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata dan pada kenyataannya dapat membuktikan hal tersebut.
Itulah penjelasan panjang lebar saya untuk komentar; “Menurut saya GW sangat terlalu jauh jika hrs berhadapan dgn Jokowi di 2014 nnt”, yang bung Rahmad Agus Koto mintakan penjelasan dari saya, karena rakyat pastinya akan memilih orang yang dianggap bisa mewakili keinginan mereka dan akan melaksanakan keinginan mereka dan jika rakyat diminta untuk memilih antara seorang Gita Wirjawan atau Joko Widodo, pastinya rakyat akan lebih memilih “Jokowi” baik sebagai Presiden maupun Wakil Presiden.
Demikian bung Rahmad Agus Koto penjelasan yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat diterima, mohon koreksi jika ada yang salah dan saya berterimakasih karena dengan permintaan anda, saya terinspirasi untuk menulis artikel ini. Karena panjangnya penjelasan yang ingin saya sampaikan, maka saya jadikan sebuah artikel sehingga bukan hanya bung Rahmad Agus Koto saja yang dapat membaca tetapi termasuk pembaca lainnya. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H