Saya hanya senyum sambil geleng-geleng kepala mendengar berita tersebut. Tapi jika benar Golkar menawarkan ARB sebagai cawapres Jokowi kemudian Megawati menerima tawaran tersebut, jangankan sebagai pendamping Jokowi, Golkar diterima sebagai teman koalisi oleh PDIP sebelum Pilpres nanti, saya akan golput kembali tanggal 9 Juli nanti. Suara saya 'mahal' dan saya tidak mau menanggung beban moral selama 5 tahun ke depan untuk pilihan yang salah.
Berawal dari pertemuan "capres helikopter", Senin (5/5/2014) di istana Bojong Koneng Hambalang, Bogor. Walau ARB sudah bersedia 'turun pangkat' menjadi cawapres, tetapi karena penolakan (adik kandung Prabowo Subianto) Hashim Djojohadikusumo beberapa hari kemudian yang mengatakan; "Ical pasti tidak menjadi cawapres Prabowo", maka "koalisi helikopter" tersebut pupus terbentuk.
Gagal dengan Gerindra, Golkar mencoba merapat kepada PDIP, dengan 'dagangan' yang sama, ARB sebagai cawapres. Direncanakan, Minggu (11/5/2014) siang ini, ARB beserta elit Golkar akan bertemu dengan Megawati Soekarno Putri di Bali, dengan agenda pembicaraan penjajakan koalisi. ARB dan rombongan sengaja datang ke Bali sejak sore kemarin karena Megawati memang sedang 'berlibur' di Bali.
Ada apa sebenarnya dengan Golkar, apakah suara 14,75 persen dan menempatkan sebagai pemenang nomor 2 pada Pileg 2014 tidak menjadikan mudah untuk menggandeng teman koalisi? Ternyata masalahnya bukan pada Golkar atau perolehan suaranya, nama ARB adalah 'kartu mati' bagi siapa saja yang didekati atau mendekati, bahkan PKS saja yang oportunis berpikir dua kali diajak koalisi.
Jika benar PAN dan PKS merapat kepada Gerindra, maka tersisa di luar ring pertandingan Golkar, Demokrat, PPP dan Hanura. Kemungkinan besar PPP akan bersama dengan PDIP, kemudian apakah mungkin Golkar, Demokrat dan Hanura akan berkoalisi agar dapat masuk pula ke dalam ring pertandingan? Karena jika tidak seperti itu, tidak akan terkumpul suara 25 persen.
Jika Demokrat 'menjilat ludah sendiri' untuk menjadi oportunis, apakah nekat akan tetap mengambil 'kartu mati' yang tersisa hanya untuk sekedar masuk ring pertandingan? Saya meyakini, jika benar nanti terbentuk kerjasama PDIP, NasDem, PKB, dan PPP, maka 'sisa kartu' yang ada dikocok bagaimanapun hasilnya tetap tidak menguntungkan bagi para pemain.
Disinilah yang dimaksud Ruhut 'poltak' Sitompul SBY tampil sebagai Kingmaker, kartu tidak menguntungkan tetap dikocok oleh SBY. Maka wajar Demokrat rela melepas besannya, PAN, bersanding dengan Gerindra dibantu PKS agar masuk dalam ring pertandingan. Kemudian Demokrat, dengan dalih alam demokrasi, bersama Golkar dan Hanura juga masuk dalam ring pertandingan. SBY terbukti sebagai Kingmaker, mengakomodir kepentingan 'partai-partai sisa'.
Jika kita rakyat sebagai pembeli disuguhi dagangan seperti itu, dagangan mana yang kira-kira menarik dan kita beli, apakah Jokowi dengan Jusuf Kalla atau Prabowo dengan Hatta Rajasa atau ARB dengan Dahlan Iskan? Apakah kita bingung sama bingungnya dengan partai-partai sisa yang bingung menjalin koalisi? Tidak usah bingung, cukup lihat kerja Jokowi, Prabowo dan ARB dengan bukti kerja yang ada, kemudian tanyakan kepada hati kita; "Siapakah yang harus saya 'beli'?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H