Lihat ke Halaman Asli

Atapnya Berkabung

Diperbarui: 2 Januari 2023   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga pagi ini ia bersolek awan putih. Sungguh rapi hingga menutupi dosa manusia berjudi. Sedikit mengecewakan tapi tidak meruntuhkan niat untuk sekadar liburan. Meskipun tertempuh dua jam lebih delapan. Terkesan lebih jauh daripada Surabaya Kalimantan mengendarai pesawat terbang. Sebelumnya Ibu berpesan, “untuk apa pergi ke sana, kamu tidak akan menemukan bahagia”.

Pesan Ibu masuk telinga kanan, keluar jalan-jalan menyusuri kebun binatang. KBS (Kebun Binatang Surabaya) kali ini sangat ramai meski bukan akhir pekan. Kurasa manusia-manusia pembangkang mulai bosan di kosan. Ya mau bagaimana lagi. Tidak ada pilihan liburan semi alam selain kebun binatang. Sebenarnya bisa ke Malang. Namun merogoh kocek yang dalam. Ah itu bukan budaya anak kosan yang belum berpenghasilan.

Aroma feses hewan menyetubuhi hiruk pikuk manusia lalu-lalang. Sedikit menjengkelkan, tetapi tidak meruntuhkan kewajiban. Ya, kewajiban untuk studi lapangan. Pun orang lain yang sedang mensyukuri nikmat pacaran. Ada pula yang bertamasya dengan tujuan mengenal hewan. Juga sekelompok manusia dengan sekadar mempererat kekeluargaan. Kami dibebaskan untuk melakukan apa yang dimau dengan tidak menyalahi norma agama pun pancasila.

Rombonganku berjalan terpisah. Tidak seperti anak TK. Bukan. Lebih tepatnya aku yang berjalan lambat. Kaki ini terasa keram sejak menginjak loket depan. Otot-otot kaki yang sama sekali tak tersentuh jalanan pagi dengan sekadar lari, seakan menolak untuk berlangkah terlalu jauh. Kurasa otot-otot ini terkontaminasi oleh memori. Benar apa kata Ibu. Ia seperti peramal masa depan dengan berbekal pesan. Kekhawatirannya tak pernah salah. Aku saja yang terlalu gegabah. Mengabaikan luka yang selalu terbuka pada tempat-tempat yang pernah terjamah.

“Ayo foto!”, ajak temanku.

“Sini aku fotoin”, jawabku tersenyum melengkungkan bibir tak lebih dari tiga puluh derajat.

“Kamu gapapa kan?!” tanyanya sedikit curiga.

Aku mengulang senyumku. Kali ini dengan mata menengadah ke langit. Berharap mutiara cairku tak runtuh tersapu angin yang berbau.

Secepat kilatan setrum yang merasuki seluruh tubuh saat telunjuk kaki tersandung pojok pintu. Secapat itu pula air tuhan merasuki tubuh. Kami berlarian ke sana ke mari hanya untuk berteduh. Namun tidak dengan hewan-hewan itu. Mereka memilih untuk diam dengan menikmati dinginnya hujan siang. Bersama keluarganya, mereka bercengkerama. Terkhusus monyet Belanda, ia sibuk menyusui anaknya yang mulai penat dengan susu induknya.

Kami serombongan berteduh pada sebuah parkiran. Mungkin tempat parkir milik si pawang buaya. Entahlah kami mengabaikan dugaan tak berarah. Semakin keras dering air suci yang turun membasahi atap yang terbuat dari seng dengan ketebalan tidak lebih dari sepuluh senti. Mengusik komunikasi kami. Pun bahakan yang mulai sepi.

Berjam-jam kami menduduki alas kaki masing-masing. Hanya sekadar tidak mengotori baju belakang. Berbagai stori dilambungkan oleh teman-teman. Guna menghibur kawan yang mulai bosan dengan air tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline